Lampung Geh, Bandar Lampung - Kelompok Studi Kader (Klasika) Lampung menggelar diskusi dan nonton bareng film dokumenter AFSYA: Membela Hutan Adat, di Rumah Ideologi Klasika, Bandar Lampung, Jumat (7/11) malam.
Kegiatan ini menjadi bagian dari Majelis Jum’at Klasika edisi November 2025 bertajuk “Bincang Komunitas: Tumbuh Bersama, Merawat Kemanusiaan.”
Film berdurasi hampir satu jam itu menyoroti perjuangan masyarakat adat Suku Afsya di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, mempertahankan hutan dan wilayah adat mereka dari ekspansi perkebunan sawit.
Bagi masyarakat Afsya, hutan bukan sekadar hamparan pohon, tapi ruang hidup: tempat mencari pangan, obat, hingga sumber identitas kultural dan spiritual.
Direktur Klasika, Ahmad Mufid menjelaskan, bahwa film AFSYA menyoroti perjuangan masyarakat adat Suku Afsya di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, dalam mempertahankan hutan dan tanah leluhur dari tekanan investasi perkebunan sawit.
“Film ini bukan sekadar dokumenter lingkungan, tapi seruan moral agar pembangunan tidak menyingkirkan hak dan martabat masyarakat adat,” ujar Mufid.
Ia menilai, AFSYA berhasil menggugah kesadaran publik terhadap persoalan struktural yang dihadapi masyarakat adat.
“AFSYA bukan hanya soal deforestasi, tapi tentang ketimpangan kuasa, tentang bagaimana hukum sering kali lambat melindungi yang lemah, sementara investasi bergerak cepat menguasai ruang hidup mereka,” jelasnya.
Menurut Mufid, perjuangan masyarakat Afsya menjadi simbol perlawanan terhadap sistem ekonomi yang menempatkan alam sebagai komoditas, bukan ruang kehidupan.
Ia juga menegaskan, kondisi tersebut mencerminkan kegagalan sistemik negara dalam memprioritaskan hak hidup komunitas dibandingkan keuntungan segelintir korporasi.
“Masyarakat adat adalah benteng terakhir bagi ekosistem penting di Papua. Jika hutan mereka hilang, dampaknya bukan hanya bagi Papua, tapi seluruh dunia akan menanggung beban krisis iklimnya,” tegas Mufid.
Dalam sesi diskusi, Ridal, salah satu peserta menyampaikan, pandangannya bahwa hutan harus dilihat lebih luas dari sekadar sumber ekonomi.
“Hutan bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga sumber peradaban. Di sanalah manusia belajar tentang keseimbangan, tentang bagaimana hidup tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan,” kata Ridal.
Sementara itu, Wulan, peserta lain menilai, perjuangan masyarakat adat di Papua mencerminkan bentuk penjajahan baru yang dilakukan oleh negaranya sendiri.
“Papua dijajah bukan oleh bangsa lain, tapi oleh negaranya sendiri. Ketika negara membiarkan tanah dan hutan diambil alih korporasi, itu artinya negara menutup mata terhadap penderitaan rakyatnya,” ujarnya.
Basofi, mahasiswa UIN Raden Intan Lampung, menyoroti ketiadaan regulasi khusus yang secara tegas melindungi hak masyarakat adat.
“RUU tentang Masyarakat Hukum Adat sudah masuk prolegnas sejak 2011, tapi hingga kini belum juga disahkan. Padahal ini sangat mendesak untuk memberi jaminan hukum bagi masyarakat adat,” ujarnya.

1 month ago
22







































