Indonesia tengah duduk di atas tambang emas baru bernama data. Setiap transaksi digital, layanan publik, pergerakan penduduk, hingga jejak media sosial menghasilkan data dalam jumlah masif. Badan Pusat Statistik mencatat penetrasi internet Indonesia telah melampaui 78 persen populasi, sementara nilai ekonomi digital Indonesia pada 2024 diperkirakan menembus lebih dari USD 80 miliar. Di balik angka-angka itu, tersimpan potensi strategis yaitu data sebagai modal pembangunan setara dengan tanah, tenaga kerja, dan kapital. Namun ironisnya, ketika data semakin menentukan arah kebijakan dan pertumbuhan ekonomi, tata kelola kita justru tertinggal. Data dikumpulkan besar-besaran, tetapi belum sepenuhnya diatur, dimanfaatkan, dan dilindungi secara benar.
Masalahnya bukan pada ketiadaan data, melainkan pada cara negara memahami dan mengelolanya. Data masih diperlakukan sebagai produk sampingan administrasi, bukan sebagai aset strategis nasional. Akibatnya, kebijakan publik sering kali miskin presisi, tumpang tindih, bahkan bias, meski kita hidup di era yang konon berbasis data.
Ledakan Data, Kekosongan Tata Kelola
Indonesia mengalami ledakan data yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE), digitalisasi layanan kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, hingga kependudukan telah menghasilkan basis data raksasa. Program seperti Satu Data Indonesia dirancang untuk mengintegrasikan berbagai sumber tersebut agar menjadi dasar perencanaan pembangunan yang akurat. Namun di lapangan, fragmentasi masih dominan. Data antar-kementerian dan pemerintah daerah sering tidak sinkron, standar berbeda, dan mekanisme berbagi data lemah.
Sebagai analis kebijakan, saya melihat ini sebagai kegagalan desain institusional. Negara rajin mengumpulkan data, tetapi enggan membangun ekosistem tata kelola yang matang. Data disimpan di silo birokrasi, dijaga ketat sebagai sumber kuasa sektoral, bukan dibuka sebagai barang publik strategis yang bisa meningkatkan kualitas kebijakan. Akibatnya, perencanaan pembangunan kerap berbasis asumsi dan kompromi politik, bukan bukti empiris yang solid.
Lebih jauh, kekosongan tata kelola juga terlihat pada aspek nilai ekonomi data. Di sektor swasta, data telah menjadi komoditas bernilai tinggi diperjualbelikan, dianalisis, dan dimonetisasi. Sementara di sektor publik, data sering berhenti sebagai laporan tahunan yang usang. Negara belum memiliki kerangka jelas tentang siapa yang berhak memanfaatkan data publik, bagaimana skema nilai tambahnya, dan bagaimana manfaat ekonomi itu kembali ke publik.
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disahkan pada 2022 adalah langkah maju penting. Namun UU ini lebih menekankan aspek perlindungan dan sanksi, belum sepenuhnya menjawab pertanyaan strategis bagaimana data dimanfaatkan secara etis dan produktif untuk pembangunan? Tanpa regulasi turunan yang kuat dan lembaga pengawas yang efektif, UU PDP berisiko menjadi macan kertas baik bagi perlindungan warga maupun bagi penguatan ekonomi berbasis data.
Data, Kekuasaan, dan Arah Pembangunan
Data bukan entitas netral. Ia selalu terkait dengan kekuasaan: siapa yang mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data akan menentukan arah kebijakan. Ketika negara tidak memiliki kapasitas analitik yang kuat, kekuasaan atas data justru berpindah ke aktor non-negara platform digital global, konsultan, atau vendor teknologi. Ini berbahaya bagi kedaulatan kebijakan publik.
Kita bisa melihat contohnya dalam penyaluran bantuan sosial. Berulang kali muncul polemik data penerima yang tidak akurat, ada yang berhak tapi tidak menerima, ada yang tidak berhak justru mendapat. Masalahnya bukan sekadar teknis pendataan, melainkan lemahnya integrasi dan pemutakhiran berbasis analitik. Data yang seharusnya menjadi alat keadilan sosial malah memproduksi ketidakpercayaan publik.
Di sisi lain, potensi data untuk pembangunan sangat besar. Data spasial dapat meningkatkan ketepatan perencanaan wilayah. Data kesehatan bisa memperkuat sistem deteksi dini penyakit. Data pendidikan mampu memetakan kesenjangan kualitas guru dan sekolah. Namun semua potensi itu mensyaratkan satu hal: tata kelola data yang jelas, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik.
Mengambil posisi tegas, saya berpendapat bahwa kegagalan kita hari ini bukan karena kurangnya teknologi, melainkan karena negara belum menganggap data sebagai modal pembangunan strategis. Selama data diperlakukan hanya sebagai kewajiban administratif dan bukan sebagai aset kebijakan, maka pembangunan berbasis data akan berhenti sebagai slogan.

3 hours ago
2







































