Setiap kali sebuah kasus kekerasan, ketidakadilan, atau tragedi kemanusiaan mencuat ke ruang publik, respons masyarakat nyaris selalu seragam. Linimasa media sosial dipenuhi unggahan kemarahan, simpati, dan solidaritas. Tagar bermunculan, petisi daring dibuat, dan tuntutan keadilan menggema dari berbagai arah. Dalam waktu singkat, sebuah peristiwa bisa menjelma menjadi percakapan nasional yang mengundang perhatian luas.
Namun, ada satu pola yang terus berulang dan jarang disadari. Ketika isu tersebut tak lagi mendominasi linimasa, empati publik ikut menghilang. Perhatian berpindah, diskusi mereda, dan korban kembali berjalan sendiri menghadapi proses yang panjang dan melelahkan. Di sinilah persoalan utama muncul: empati publik sering kali hanya bertahan selama sebuah isu masih trending.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan lupa atau bergesernya minat masyarakat. Ia mencerminkan perubahan cara kita memaknai empati di era digital. Kepedulian sosial semakin dipengaruhi oleh kecepatan arus informasi, bukan oleh kedalaman kesadaran moral. Tulisan ini berangkat dari pandangan bahwa empati publik yang bersifat sementara tidak cukup untuk mendorong keadilan dan bahkan berpotensi memperpanjang penderitaan korban.
Media sosial telah mengubah cara masyarakat merespons peristiwa sosial. Informasi bergerak sangat cepat, begitu pula reaksi publik. Dalam hitungan menit, sebuah video atau unggahan dapat menyulut kemarahan massal. Di satu sisi, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki kepekaan terhadap ketidakadilan. Namun, di sisi lain, kecepatan ini juga melahirkan empati yang dangkal dan mudah bergeser.
Algoritma media sosial bekerja dengan logika popularitas dan keterlibatan. Isu yang ramai akan terus ditampilkan, sementara isu yang mulai sepi akan tenggelam. Akibatnya, empati publik ikut terlatih untuk mengikuti arus tersebut. Kita peduli karena isu itu muncul di layar, bukan karena komitmen untuk mengawal persoalan hingga tuntas.
Dalam konteks ini, empati menjadi reaktif, bukan reflektif. Kita bereaksi keras di awal, tetapi jarang bertanya lebih jauh: bagaimana kelanjutan kasus ini? Apakah korban mendapatkan pendampingan? Apakah sistem berubah setelah kegaduhan mereda?
Viral dan Ketimpangan Perhatian
Tidak semua kasus memiliki peluang yang sama untuk menjadi viral. Banyak peristiwa kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia yang luput dari perhatian publik karena tidak memiliki unsur sensasional. Tidak ada rekaman video, tidak melibatkan figur publik, atau terjadi di wilayah yang jauh dari pusat perhatian media.
Ketimpangan ini berdampak nyata. Kasus yang viral sering mendapatkan respons cepat dari aparat dan pejabat. Pernyataan resmi dikeluarkan, penyelidikan diumumkan, dan janji penegakan hukum disampaikan. Sebaliknya, kasus serupa yang tidak viral sering berjalan lambat dan nyaris tanpa pengawalan publik.
Data dari berbagai lembaga pendamping korban menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan, terutama terhadap perempuan dan anak, tidak pernah menjadi perhatian nasional. Namun, dampaknya sama beratnya bagi korban. Ini menunjukkan bahwa empati publik yang bergantung pada viralitas berisiko menciptakan keadilan yang timpang.
Empati Simbolik dan Kepuasan Semu
Unggahan simpati, komentar dukungan, atau penggunaan tagar sering dianggap sebagai bentuk empati. Ekspresi ini tidak sepenuhnya salah. Namun, masalah muncul ketika empati berhenti pada simbol. Kita merasa telah peduli, padahal kontribusi nyata hampir tidak ada.
Fenomena ini dikenal sebagai empati simbolik. Ia memberi kepuasan emosional bagi pelakunya, tetapi tidak selalu berdampak pada perubahan kondisi korban. Dalam banyak kasus, empati simbolik justru menjadikan penderitaan orang lain sebagai konsumsi publik sesaat.
Lebih jauh, empati simbolik bisa menjadi beban bagi korban. Mereka dipaksa membuka luka di ruang publik demi menjaga perhatian tetap hidup. Ketika perhatian itu menghilang, korban tidak hanya kehilangan dukungan, tetapi juga harus menghadapi trauma yang telah terekspos.
Media massa memiliki peran strategis dalam menjaga keberlanjutan empati publik. Sayangnya, pemberitaan sering kali terfokus pada fase awal kasus. Proses hukum, pemulihan korban, dan evaluasi kebijakan jarang dikawal secara konsisten.
Logika bisnis media digital yang mengejar klik dan trafik turut memperkuat pola ini. Isu baru dianggap lebih menarik daripada pe...

2 hours ago
3







































