Setiap kali konflik meletus di Timur Tengah, satu hal paling pasti yang melatarbelakanginya adalah minyak. Baik itu konflik langsung antar negara atau perang proxy dan intervensi asing, minyak di wilayah yang penuh gejolak ini bukan hanya sumber pendapatan tetapi juga penyebab ketidakstabilan. Oleh karena itu, dalam memahami krisis di wilayah ini, minyak sering menjadi fokus perhatian.
Masalahnya bukan hanya karena Timur Tengah memiliki cadangan minyak yang sangat besar. Tetapi sebenarnya terkait dengan bagaimana minyak memengaruhi politik di dalam suatu negara, menarik keterlibatan strategis dari kekuatan asing, dan memicu persaingan antar negara di wilayah ini. Dalam situasi ini, minyak tidak lagi menjadi faktor non-politik, tapi menjadi alat politik, senjata ekonomi, dan pemicu konflik.
Negara Kaya Minyak dan Ketidakstabilan Politik
Sebagian besar negara di Timur Tengah bergantung pada pendapatan dari minyak dan bukan pajak dari warga negaranya. Model ini disebut sebagai rentier state. Dimana, menurut data dari Bank Dunia, dibeberapa negara Teluk minyak dan gas menyumbang hingga 80 persen dari pendapatan negara.
Akibat ketidakbergantungan pada pajak ini, pemerintah negara-negara di kawasan ini cenderung memiliki tekanan politik lebih kecil dari warga negaranya. Pemerintah memperoleh kredibilitas politik melalui subsidi energi, program bantuan sosial, dan lapangan kerja di sektor publik. Meskipun dalam jangka pendek model ini terlihat stabil, dalam jangka panjang hal ini dapat menghasilkan sistem politik yang tertutup dengan minimnya akuntabilitas.
Kerentanan situasi ini akan terlihat jelas ketika harga minyak rendah atau ketika ketidakadilan dalam distribusi kekayaan tampak tidak wajar. Masalah keuangan dengan cepat berkembang menjadi masalah politik. Kasus di Irak dan Libya membuktikan bahwa klaim bersaing atas ladang minyak dan fasilitas ekspor minyak telah meningkat menjadi konflik bersenjata antara pemimpin politik dan faksi bersenjata di negara-negara tersebut. Dalam situasi ini, minyak tidak hanya mengkonsolidasikan kekuasaan tetapi justru menjadi bahan bakar kekerasan.
Minyak dan Perang Saudara
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa negara-negara yang sangat bergantung pada minyak memiliki peluang lebih besar untuk terkena dampak perang saudara. Michael Ross dalam bukunya "The oil curse: How petroleum wealth shapes the development of nations" menunjukkan bahwa lemahnya institusi politik dan tingkat risiko perang saudara yang tinggi, berkaitan erat dengan ketergantungan tinggi pada pendapatan minyak.
Yaman sebagai contoh. Sebelum konflik, lebih dari 70 persen ekspornya didorong oleh ekspor minyak. Seiring dengan semakin melemahnya pemerintahan negara, akses ke sumber daya minyak menjadi objek rebutan bagi kelompok-kelompok bersenjata. Hal serupa juga terjadi di Suriah dan Irak, di mana ISIS menguasai ladang minyak pada tahun 2014-2017 demi membiayai aktivitas militernya.
Hal ini menunjukkan minyak menjadi insentif finansial bagi aktor kekerasan. Selama minyak dapat dieksploitasi dan dijual dengan menguntungkan, konflik 'dibahan bakari' untuk terus terjadi.
Mengapa Negara Luar Terus Ikut Campur?
Minyak juga menjadi alasan mengapa Timur Tengah tidak pernah lepas dari campur tangan kekuatan besar. Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat memandang keamanan pasokan minyak Timur Tengah sebagai kepentingan strategis. Meskipun Amerika Serikat kini jauh lebih mandiri dalam hal energi, wilayah ini tetap vital bagi pasar global.
Menurut US Energy Information Administration (EIA), diperkirakan sekitar 20 persen perdagangan minyak global setiap hari melewati Selat Hormuz. Gangguan kecil di wilayah ini saja dapat langsung menyebabkan kenaikan harga minyak global. Intervensi militer dan aliansi keamanan seringkali dibenarkan atas nama 'stabilitas'.

4 hours ago
2







































