Pagi itu dimulai dengan pandangan kosong ke arah rak buku yang sedikit berdebu di kontrakan saya. Sembari memandangi dan mengusap beberapa buku nonfiksi, seperti karya Paulo Freire yang bertajuk Pedagogy of the Oppressed, lalu buku The Gheography of Bliss oleh Eric Weiner, dan buku self improvement tulisan Riko Abu Alfatih yang mulai menguning, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di benak saya: untuk apa saya membeli buku sebanyak ini? Tentunya ini bukanlah pertanyaan yang sepenuhnya patut disalahkan, khususnya bagi mahasiswa dengan uang saku mingguan yang pas-pasan.
Di tengah keheningan kamar kontrakan itu, pertanyaan ini kerap kembali menghantui pikiran saya baik saat sedang membaca buku atau sekadar melihat cover buku-buku referensi dan novel yang saya beli sejak baru menjadi mahasiswa di Universitas Jember. Itu seolah menjelma menjadi bisikan ke telinga untuk menyalahkan diri atas apa yang telah berlalu: "bukankah tidak relevan jika membeli buku fisik pasca revolusi industri 4.0, bila dilihat dari dinamika dunia yang kini mengaksentuasi pada efisiensi dan inovasi?"
Untuk menghilangkan rasa skeptis terhadap buku di masa kini, saya mencoba merekonstruksi pandangan saya melalui gagasan dari tokoh-tokoh literasi dan kajian ilmiah yang pernah dilakukan. Menurut laporan Jill Barshay dalam Paper books linked to stronger readers in an international study tahun 2022, buku digital menjadi sangat populer di kalangan siswa di beberapa wilayah Asia, tetapi siswa yang membaca buku cetak masih lebih unggul di tengah tren membaca buku digital.
Berikutnya, membaca berfungsi sebagai katalisator utama dalam rangka transformasi peradaban manusia. Tanpa membaca, pengetahuan hanya bisa diturunkan secara lisan, yang rawan hilang atau berubah. Sebagaimana telah disampaikan Rocky Gerung dalam sebuah forum podcast yang diselenggarakan KOMPAS TV, Jumat (22/11/2025), membaca buku adalah tindakan kembali ke prime-source (sumber utama) di tengah era digital.
Hal ini didorong oleh persepsi bahwa kecerdasan buatan (AI) pun sudah mulai "bosan menjawab" pertanyaan-pertanyaan yang dangkal dari netizen. Beliau juga menyoroti keunikan dan estetika dari membaca buku fisik yang tidak bisa didapatkan dari teknologi, seperti sensasi menghirup bau kertas dalam memicu pengalaman sensorik dan nilai estetika dalam memastikan telah membuka buku pada halaman yang tepat.
Usai menelaah beberapa statement tersebut, sorotan saya seketika teralihkan menuju novel-novel di rak buku yang belum sempat saya baca. Ada beberapa novel karya penulis J.S. Khairen dan Brian Khrisna, ada pula novel Laut Bercerita tulisan Leila S. Chudori. Lalu bagaimana dengan membaca buku fiksi? Apakah esensi yang diperoleh juga sama sebagaimana kita mencari apriori dari buku-buku nonfiksi?
Dalam riset "How Does Fiction Reading Influence Empathy? An Experimental Investigation on the Role of Emotional Transportation", membaca buku fiksi mampu melarutkan emosional pembacanya ke dalam alur cerita sehingga output-nya adalah meningkatnya skala empati dari pembaca buku fiksi.
Dalam studi pertama, 66 mahasiswa yang dibagi menjadi dua kelompok, terbukti mengalami peningkatan rasa empati pada kelompok pembaca karya fiksi The Adventure of the Six Napoleons daripada kelompok mahasiswa pembaca surat kabar Belanda, De Volkskrant. Temuan serupa juga terjadi pada studi kedua, di mana terjadi peningkatan empati pada kelompok mahasiswa pembaca karya fiksi blindness daripada kelompok pembaca berita koran.
Ada kisah nyata di mana seseorang membatalkan niat bunuh dirinya setelah membaca novel. Momen tersebut dibagikan melalui kanal TikTok resmi penulis J.S. Khairen. Dalam cuplikan video yang berdurasi 59 detik itu, tampak seorang perempuan menghampiri penulis di tengah kerumunan acara book fair di sebuah toko buku.
Di momen itu, ia mencurahkan semua isi hatinya kepada sang penulis mengenai apa yang menimpanya beberapa waktu lalu. Hingga tiba di satu titik di mana sahabat dari perempuan itu mengirimkan pesan-pesan yang pernah ditulis J.S Khairen di channel YouTube nya mengenai m...

17 hours ago
7
















,x_140,y_26/01kce32mnk6ya0497vwj5ywgda.jpg)





















