Proyeksi ini sejalan dengan tren pemulihan yang sudah tampak sepanjang 2025, tetapi dunia usaha menilai risiko bencana dan ketidakpastian global harus diperhitungkan secara serius agar momentum ekonomi tidak terhambat.
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menegaskan bahwa kalangan pelaku usaha melihat prospek ekonomi dengan optimisme yang berhati-hati.
“Angka dari pemerintah juga sudah ada yang direfleksikan dan mungkin kalau saya bisa bahasa pengusahanya itu we are optimistic but cautious. Jadi saya selalu bilang optimis dengan penuh kehati-hatian,” ujar Shinta dalam konferensi pers di kantornya, Senin (8/12).
Shinta menyebut, pemulihan ekonomi 2025 menunjukkan pola yang cukup solid. Data kuartalan mengindikasikan perbaikan konsisten, kuartal I tumbuh 4,78 persen, kuartal II naik menjadi 5,12 persen, dan kuartal III berada pada 5,04 persen.
Dengan faktor musiman seperti Natal dan Tahun Baru, percepatan belanja pemerintah, serta injeksi SAL dan SILPA sebesar Rp 276 triliun, Apindo memperkirakan kuartal IV dapat mencapai pertumbuhan 5,1 persen hingga 5,3 persen.
Shinta menilai proyeksi pemerintah yang mematok pertumbuhan 5,6 persen terlalu optimistis.
“Jadi mungkin kita tidak seoptimis pemerintah sampai 5,6 persen. Jadi kami merasa mungkin akan sekitar 5,1 sampai 5,3 persen,” ujarnya.
Untuk 2026, Apindo memproyeksikan pertumbuhan hanya sedikit lebih tinggi, yakni 5,0 persen sampai 5,4 persen.
Rentang yang cukup lebar itu muncul karena ketidakpastian global, mulai dari tensi geopolitik, fragmentasi perdagangan, hingga potensi policy shock seperti tarif resiprokal Amerika Serikat.
Di sisi domestik, kuartal I 2026 diperkirakan menjadi momentum terkuat berkat konsolidasi faktor musiman Tahun Baru, Imlek, Ramadan, dan Idul fitri. Namun, kuartal II dan III dinilai rawan stagnasi karena hilangnya seasonal drivers tersebut.
Salah satu faktor risiko yang kini mendapat perhatian pengusaha adalah bencana besar di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Apindo mengakui belum bisa mengukur dampak penuh terhadap pertumbuhan nasional, namun kerugian sektor usaha sudah terlihat signifikan.
“Terus terang kami belum bisa mengevaluasi sejauh mana itu akan berdampak ke 2026. Tapi kalau kami lihat sekarang ini kita masih dalam tahapan penanggulangan,” kata Shinta.
Kerusakan parah pada UMKM, perdagangan lokal, dan sektor manufaktur yang bergantung pada pasokan bahan baku dari Sumatera menjadi sorotan. Menurutnya, gangguan utilitas seperti air, listrik, hingga infrastruktur transportasi memicu supply shock yang meningkatkan biaya logistik dan menekan output regional.

6 hours ago
3






































