Sudah menjadi rahasia umum bahwa kehidupan perempuan semakin sulit ketika dihadapkan dengan situasi bencana. Hal ini diungkapkan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Arifah Fauzi saat berkunjung ke posko pengungsian banjir di SD Negeri 02 Cupak Tangah, Kota Padang, Sumbar.
“Saya bersama tim melakukan kunjungan ke lokasi bencana di Kota Padang, Sumtera Barat, untuk menyapa korban, khususnya perempuan dan anak yang juga merupakan kelompok yang paling rentan dalam situasi bencana,” ucap Arifah dalam keterangan resminya, Senin (1/12).
Dia pun mengatakan, KemenPPPA sudah berkoordinasi dengan dinas pengampu isu perempuan dan anak untuk memastikan kondisi para perempuan dan anak korban bencana.
7 alasan perempuan jadi pihak paling terdampak bencana
Namun, apa alasannya perempuan menjadi kelompok paling terdampak, di saat ratusan ribu orang lainnya juga menjadi korban bencana? Di luar situasi bencana, kehidupan perempuan sudah kompleks akibat berbagai konstruksi sosial. Bencana kemudian mengamplifikasi rentetan tantangan yang dihadapi perempuan.
1. Stereotip peran gender yang dilekatkan
Menurut UN Women Indonesia Country Representative and Liaison to ASEAN, Ulziisuren Jamsran, salah satu penyebab perempuan sangat rentan dalam situasi bencana adalah stereotip peran gender yang dilekatkan.
“Perempuan adalah kelompok yang cenderung diharapkan untuk tetap diam di rumah. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di situasi bencana lainnya. Banyak perempuan dan anak perempuan yang diam di rumah dan dibebankan dengan peran pengasuhan. Itulah mengapa, ketika bencana melanda rumah, perempuanlah yang paling terdampak,” jelas Ulziisuren ketika diwawancarai kumparanWOMAN di Senayan, Jumat (5/12).
Hal senada diungkapkan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga, Kondisi Khusus, dan Situasi Darurat KemenPPPA, Dian Ekawati.
Menurut Dian, tanggung jawab domestik seperti pengasuhan anak dan perawatan lansia membuat mereka kesulitan bergerak cepat saat evakuasi. Tak hanya itu, mereka juga sering kali harus menunggu anggota keluarga laki-laki sebelum memutuskan mengungsi.
2. Jadi “penyangga terakhir” keluarga
Masih berkaitan dengan stereotipe peran gender, para perempuan diharapkan untuk menjadi pengasuh dan perawatan dalam situasi bencana. Misalnya, mereka dituntut untuk selalu memastikan anggota keluarga atau komunitasnya makan, tidak kelaparan, dan berlindung.
Namun, sering kali, mereka akan mengutamakan anggota keluarga atau orang lain terlebih dahulu. Alhasil, mereka justru mengorbankan dan mengabaikan kebutuhan diri sendiri.

1 day ago
10







































