Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak lama, negara-negara modern pusing kepala (atau pura-pura pusing kepala) soal ini hal yang namanya kemiskinan. Mereka bilang, jika perekonomian makro meroket nanti pelan-pelan kekayaan akan menetes dengan sendirinya. Ternyata tidak juga.
Triliunan dana program kesejahteraan digelontorkan, tidak juga kondisi membaik secara signifikan. Lapangan kerja padat karya dikira juga bisa jadi obat. Nyatanya belum begitu.
Yang punya kepentingan cari-cari solusi dari ekonom-ekonom di Barat. Barangkali mereka mencari di tempat yang salah (sekali lagi bisa jadi sengaja). Karena kalau mereka mau baca Ihya Ulumuddin karya Alghazali, jawabannya lebih jitu dan sederhana.
Alghazali tak pernah menilai kemiskinan sebagai akibat kemalasan orang-orang. Ia bahkan tak mengaitkan kemiskinan pada kurangnya duit masyarakat, lebih kepada di mana barang itu menumpuk.
Ia meyakini, kesejahteraan masyarakat sangat bergantung pada “disipilin yang ditegakkan oleh Sultan”. Jika keadilan tegak, kata Alghazali kemiskinan di masyarakat akan berkurang.
Korelasi moralitas dan kesejahteraan ini barangkali sudah sering disebutkan oleh para ulama. Yang berbeda dari Alghazali, ia menganalisis hal itu dari sudut pandang yang sangat pragmatis.
Orang-orang kerap mengasosiasikan pemikir Muslim yang hidup lebih seribu tahun lalu itu dengan pemikiran keagamaannya. Yang lebih jarang dikaji, adalah bagaimana Alghazali mengaji soal perekonomian.
Dalam buku Economic Thought of Al-Ghazali (1998) oleh profesor ekonomi Universitas Idaho Mohammad Ghazanfar dan profesor Universitas King Abdulaziz Jeddah Abdul Azim Islahi, Alghazali menengok perekonomian mula-mula lewat darahnya, yakni uang.
Alghazali menganalisi bahwa awalnya, uang sedianya barang tak bernilai yang kemudian jadi berharga saat ditukarkan dengan kebutuhan manusia. Dalam ini, Alghazali melihat uang adalah keniscayaan dalam peradaban manusia.
Namun kemudian, makin ke sini, uang berubah jadi berharga karena keberadaannya sendiri, bukan terkait dengan pemenuhan kebutuhan. Tendensi keserakahan manusia kemudian membuat uang tak lagi menjadi alat, namun tujuan dari perekonomian.
“Ketika seseorang memperdagangkan dirham dan dinar, dia menjadikannya sebagai tujuannya, yang bertentangan dengan tujuan mereka. Uang seharusnya tidak diciptakan untuk menghasilkan uang, dan melakukan hal tersebut merupakan suatu pelanggaran," tulis Alghazali.
Dengan sifat uang yang berubah itu, muncul kemudian berbagai praktik ekonomi. Di antara yang paling disoroti Alghazali adalah jual beli mata uang dan permainan nilainya, serta komoditas yang dijual jauh lebih mahal dari kewajaran. Dua hal ini, praktik yang lazim di perekonomian modern, disebut Alghazali sebagai riba al fadhl.

1 hour ago
1







































