Jakarta (ANTARA) - Nama Mar’ie Muhammad selalu menempati ruang terhormat dalam sejarah tata kelola keuangan negara Indonesia.
Ketika ia menjabat sebagai Menteri Keuangan (1993–1998), publik menjulukinya “Mr. Clean”, sebuah pengakuan yang lahir bukan dari kampanye pencitraan, melainkan dari keteladanan, integritas, dan keberanian politik yang jarang ditemukan pada pejabat setingkatnya.
Di era ketika praktik rente, pungutan liar, dan maladministrasi dianggap sebagai “kebiasaan umum”, Mar'ie hadir sebagai anomali yang membalikkan keadaan. Ia bukan sekadar birokrat, tetapi penjaga garda depan fiskal yang memaknai keuangan negara sebagai amanah moral.
Kepemimpinan Mar’ie Muhammad menjadi relevan hari ini karena dunia tengah menghadapi tantangan integritas fiskal yang semakin kompleks: kebocoran penerimaan, fraud pajak lintas negara, risiko moral hazard, hingga tekanan politik dalam pengelolaan anggaran.
Dalam konteks seperti itu, menengok kembali masa kepemimpinan Mar’ie bukan nostalgia, tetapi kebutuhan intelektual dan institusional untuk memahami bagaimana negara pernah memiliki figur yang menjadikan kejujuran bukan hanya etika, tetapi strategi kebijakan.
Tulisan ini mengulas keteladanan Mar’ie Muhammad dengan menyoroti empat aspek: integritas pribadi dalam birokrasi, keberaniannya membersihkan institusi perpajakan dan kepabeanan, kontribusinya dalam menyelamatkan keuangan negara, serta perannya dalam menjaga kesinambungan pembangunan di tengah turbulensi ekonomi.
Keempat aspek ini menjadi dasar mengapa kepemimpinan Mar’ie penting untuk dijadikan pedoman bagi tata kelola fiskal modern.
Baca juga: Kepergian Mar'ie Muhammad kehilangan bagi Indonesia
Integritas Harga Mati
Salah satu kekuatan terbesar Mar’ie Muhammad adalah integritas personal yang otentik dan konsisten. Ia menolak fasilitas negara yang dianggap berlebihan. Ia tidak menandatangani nota dinas apa pun yang berpotensi mengarah pada pengecualian, dispensasi, atau izin-izin khusus yang dapat menjadi ruang kompromi moral.
Transformasi kebijakan yang ia terapkan selalu dimulai dari disiplin personal: meminta audit ulang atas fasilitas yang dinikmati pejabat kementerian, menolak “uang pelicin”, dan menegaskan bahwa kementerian tidak boleh menjadi pusat keuntungan bagi siapa pun.
Ketika memimpin Kementerian Keuangan, ia menerapkan standar moral yang ketat kepada seluruh jajaran. Tidak ada jabatan yang diberikan tanpa penilaian integritas. Tradisi tanda tangan “asal cepat” yang sebelumnya dianggap lazim, ia ubah dengan prosedur pemeriksaan berlapis. Setiap keputusan menyangkut potensi penerimaan negara harus memiliki dasar hukum yang kuat. Beberapa birokrat senior pada masanya mengakui bahwa Mar’ie sering menolak usulan yang “mudah disetujui” hanya karena secara intuitif terasa janggal.
Integritas pribadi ini kemudian menjadi dasar munculnya julukan “Mr. Clean”, sebuah label publik yang diberikan karena tindakan nyata, bukan oleh promosi pemerintah. Bahkan Presiden Soeharto yang terkenal tegas sekalipun, dikabarkan menghormati independensi moral Mar’ie. Ia termasuk sedikit pejabat yang berani menyampaikan laporan-laporan fiskal yang tidak populis kepada presiden, termasuk peringatan mengenai defisit struktural dan potensi kebocoran pajak.
Integritasnya menjadi tameng moral yang menjaga Kemenkeu dari tekanan kelompok-kelompok bisnis yang ingin mengintervensi kebijakan fiskal. Di era ketika hubungan pengusaha dan negara sangat cair, keberanian Mar’ie untuk menjaga jarak adalah prestasi tersendiri. Integritas baginya bukan sekadar karakter, tetapi instrumen kebijakan untuk menyelamatkan uang negara.
Baca juga: Menkeu tetapkan kantor DJP gedung Mar`ie Muhammad
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.








































