
Memasuki usia 20-an, banyak orang yang mengeluh kehidupan terasa semakin berat. Masalah bukan lagi sekadar PR Matematika atau teman kelas yang nyebelin, tapi mulai memikirkan karier, keuangan, dan masa depan.
Mereka tiap hari pusing mikirin masalah yang dihadapi (overthinking). Bahkan, tak sedikit yang merasa kehilangan arah dalam hidup (quarter life crisis).
Member teman kumparan yang berusia 20-an juga tak lepas dari masalah itu, Dwi Anggita salah satunya. Memasuki usia 23 tahun ia mengaku sering dilanda kekhawatiran berlebihan akan nasib kariernya.
“Apakah aku cukup baik? Apakah aku ketinggalan dari teman-teman lain? Kadang aku bisa nggak tidur karena mikirin hal-hal yang bahkan belum tentu kejadian,” ucapnya.
Overthinking seperti itu juga dialami Rizky Pratama yang sudah berusia seperempat abad. Menurutnya, wajar jika kaumnya penuh kecemasan dan merasa hidupnya begitu berat.

Soalnya, usia 20-an adalah masa transisi dari remaja menuju kehidupan dewasa. “Kita nggak anak-anak lagi, tapi juga belum stabil secara finansial, karier, bahkan hubungan. Semua harus dipikirin barengan, dan itu capek,” keluh Rizky.
Sebenarnya, overthinking nggak hanya dialami kalangan 20-an, tapi hampir seluruh orang dewasa. Dikutip dari laman Talkiatry, 73% kaum 25-35 tahun, dan 52% kaum 45-55 tahun, mengalami overthinking dalam kehidupan sehari-hari.
Quarter life crisis juga fenomena yang jamak ditemukan di kalangan gen z. Penyebabnya sebenarnya bermacam-macam, tapi salah satu studi mengaitkan masalah ini dengan pekerjaan.
Beberapa teman kumparan rupanya juga menyebut pekerjaan sebagai salah satu penyebab terbesar mereka mengalami quarter life crisis. Dion Saputra misalnya, dia cerita merasa stuck dalam pekerjaannya, tapi nggak mau pindah karena takut mengambil risiko.
“Rasanya kayak lagi terjebak di ruang tunggu yang nggak ada petunjuk arah,” ungkapnya.
Dilema serupa juga dialami Kevin Ramadhan. Di usianya yang sudah seperempat abad, ia kerap mempertanyakan pekerjaan yang ia geluti hingga kehidupan yang ia jalani.
“Bangun pagi rasanya kosong, kerja tapi nggak puas, terus mikir, ‘ini bener nggak sih hidup yang aku mau?’” ceritanya.

Arah kehidupan juga menjadi pertanyaan utama Aurel Natasya, “Orang-orang bilang ini masa emas, tapi kok rasanya justru paling membingungkan.”
Tak heran, banyak anak usia 20-an yang begitu menggandrungi kegiatan healing. Di tengah suntuknya kehidupan, mereka butuh pelarian sejenak.
Bentuk pelarian atau healing setiap orang berbeda-beda. Ada yang liburan ke tempat-tempat indah, hangout bareng teman, olahraga, dan masih banyak lagi.
Member teman kumparan Putri Ayu menceritakan bahwa healing versi dirinya adalah journaling sambil dengar lagu di kamar. “Healing tuh kadang cuma butuh waktu sendiri buat ‘ngobrol’ sama diri sendiri,” ucapnya.
Journaling memang terbukti dapat mendukung kesehatan mental. Merujuk laman Positive Psychology, dengan mencatat perasaanmu di secarik kertas, kecemasan dan overthinking bisa berkurang.
Nah, kalau kamu gimana cara healing-nya? Yuk, ceritain di kolom komentar biar bisa jadi inspirasi juga buat sobat 20-an lainnya.
Dapatkan teman baru dan pengalaman-pengalaman seru di teman kumparan Healing. Yuk, join sekarang di http://kum.pr/tkhealing