Banjir Sumatera, Haruskah Bencana Nasional?

1 day ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Oleh: Febrin Anas Ismail, Guru Besar dan Anggota Pusat Studi Bencana Universitas Andalas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Kalau sudah separah ini, apa lagi yang kita tunggu?” Pertanyaan seperti itu berulang kali terdengar dari warga yang berusaha bertahan di tengah banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025.

Dengan 867 korban meninggal, ratusan orang hilang, ribuan terluka, dan hampir satu juta jiwa mengungsi, bencana ini jelas melampaui batas fenomena alam biasa. Yang terpampang di hadapan publik adalah sebuah krisis kemanusiaan yang menelanjangi kerentanan struktural di tiga provinsi sekaligus.

Kerusakan fisik yang tercatat menambah bobot persoalan. Lebih dari 121 ribu rumah rusak, ratusan jembatan runtuh, ratusan sekolah dan fasilitas kesehatan lumpuh, serta banyak ruas jalan nasional terputus berhari-hari. Jaringan listrik dan komunikasi padam, sementara pergerakan logistik di seluruh Sumatera tersendat. Pada kondisi semacam ini, batas administratif provinsi seolah kehilangan relevansinya; kerusakan yang saling berkait menunjukkan bahwa ini adalah ancaman terhadap keberlangsungan hidup jutaan warga, bukan lagi sekadar urusan satu atau dua pemerintah daerah.

Pengalaman dari kejadian-kejadian sebelumnya memberi pelajaran penting tentang keterbatasan kapasitas daerah. Jembatan Manunggal, akses vital menuju Batusangkar, yang rusak akibat galodo Merapi pada Mei 2024 hingga hari ini belum kembali berfungsi karena minimnya anggaran dan tenaga teknis. Jika satu jembatan saja memakan waktu hampir dua tahun tanpa kepastian, bayangkan skala kesulitan memulihkan ratusan jembatan yang rusak dalam banjir kali ini. Gambaran tersebut menunjukkan betapa timpangnya beban yang harus dipikul oleh daerah tanpa didukung perangkat fiskal yang memadai.

APBD, betapapun besar pada sebagian provinsi, tidak pernah disiapkan untuk memulihkan ratusan ribu pengungsi, memperbaiki jaringan logistik, membangun ulang infrastruktur vital, dan menata kembali kehidupan sosial secara bersamaan. Dalam situasi seperti ini, mempertahankan status “bencana daerah” bukan hanya kurang tepat, tetapi juga berpotensi memperpanjang ketidakpastian yang dialami para penyintas. Respons yang terfragmentasi hampir pasti menghasilkan pemulihan yang timpang dan tertunda.

Memang, pemerintah pusat memiliki prosedur yang harus ditaati sebelum menetapkan status Bencana Nasional. Kekhawatiran terkait akurasi data, potensi penyalahgunaan anggaran, atau kelengkapan prasyarat hukum sering kali menjadi alasan penundaan. Namun kehati-hatian prosedural tidak boleh memadamkan urgensi kemanusiaan. Sejarah penanganan bencana di Indonesia menunjukkan bahwa jeda waktu, betapapun kecil, sering berubah menjadi rentang kerentanan baru: bantuan tak kunjung tiba, layanan publik macet, dan ketegangan sosial meningkat.

Banjir Sumatera menunjukkan perlunya satu komando yang kuat dan lintas-wilayah. Pemulihan jalan nasional, distribusi logistik antarprovinsi, dan perbaikan fasilitas umum bukanlah tugas yang bisa didistribusikan secara terpisah ke masing-masing daerah. Penetapan Bencana Nasional bukan sekadar label administratif; ia membuka akses penuh pada sumber daya negara, termasuk peluang masuknya bantuan internasional yang hanya bisa disalurkan melalui mekanisme nasional.

Dari sudut pandang keadilan, status nasional merupakan bentuk pengakuan negara bahwa keselamatan warga tidak boleh ditentukan oleh besaran APBD. Warga Aceh, Sumut, dan Sumbar menghadapi ancaman yang sama dan berhak menerima perlindungan yang setara. Prinsip sederhana ini mudah diabaikan dalam tarik-menarik kebijakan, padahal justru menjadi dasar bagi hadirnya negara dalam situasi genting.

Menimbang skala kerusakan dan kompleksitas dampak yang mengganggu kehidupan sosial, ekonomi, dan layanan publik, sulit mencari argumen yang meyakinkan bahwa mekanisme daerah masih memadai. Dalam kondisi seperti ini, negara perlu melangkah lebih jauh, bukan sekadar sebagai regulator, tetapi sebagai penanggung jawab utama pemulihan dan keselamatan warganya.

Karena itu, Banjir Sumatera 2025 layak ditetapkan sebagai Bencana Nasional. Namun keputusan tersebut harus dibarengi komitmen transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat agar seluruh proses penanganan benar-benar dirasakan oleh mereka yang paling terpukul. Status tanpa tindakan hanyalah tanda kosong; yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk menerjemahkannya menjadi langkah nyata di lapangan.

Pada akhirnya, setiap keputusan akan diuji oleh dampaknya pada manusia. Banjir Sumatera mengingatkan bahwa kebijakan publik tidak boleh terjebak dalam belitan prosedur semata, melainkan harus kembali pada tujuan yang paling mendasar: melindungi kehidupan.

Read Entire Article