Komisi Perdagangan Internasional Amerika Serikat (U.S. International Trade Commission/ITC) pada Jumat (30/8) memutuskan secara bulat untuk melanjutkan penyelidikan terhadap impor panel surya dari Indonesia, India, dan Laos. Langkah ini dikhawatirkan berujung pada pengenaan tarif terhadap produk hijau dari ketiga negara tersebut.
Dilansir Reuters, Minggu (31/8), produsen panel surya AS menilai bahwa perusahaan-perusahaan asal China, melalui operasionalnya di Indonesia, India, dan Laos, mendapatkan subsidi yang dinilai tidak adil, sehingga menjual produk di bawah biaya produksi. Kondisi itu dianggap merugikan investasi miliaran dolar AS serta menggerus lapangan kerja di sektor manufaktur energi surya Amerika.
“Keputusan ITC hari ini menegaskan apa yang kami tuduhkan dalam petisi: produsen surya AS dirugikan oleh impor yang diperdagangkan secara tidak adil. Perusahaan-perusahaan yang dimiliki Tiongkok di Laos, Indonesia, dan India menjalankan praktik yang merusak investasi dan lapangan kerja di Amerika,” ujar Tim Brightbill, penasihat utama Alliance for American Solar Manufacturing and Trade.
Aliansi tersebut, yang meliputi sejumlah produsen besar seperti First Solar dan Qcells (anak usaha Hanwha Group), mengajukan kasus ini sejak Juli 2025. Data mereka menunjukkan impor panel surya dari Indonesia, India, dan Laos melonjak tajam menjadi USD 1,6 miliar pada 2024, dari sebelumnya USD 289 juta pada 2022. Banyak di antaranya diyakini sebagai alihan dari negara-negara Asia Tenggara lain, yang sebelumnya sudah dikenai tarif oleh AS.
Selanjutnya, Departemen Perdagangan AS akan melakukan investigasi lanjutan. Penentuan awal untuk bea imbalan (antisubsidi) diperkirakan diumumkan sekitar 10 Oktober 2025, sementara keputusan awal terkait bea antidumping dijadwalkan pada 24 Desember 2025.
Bagi Indonesia, langkah ini dapat berdampak signifikan terhadap kinerja ekspor panel surya ke pasar AS, mengingat kemungkinan pengenaan tarif baru akan membuat harga produk menjadi kurang kompetitif.