Keraton Yogyakarta sedang berada di fase menarik, tradisi panjangnya bertemu dengan kebutuhan zaman yang semakin serba digital dan serba cepat. Di tengah persimpangan itu, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara tampil sebagai salah satu figur kunci yang menjembatani keduanya.
Bungsu dari Sri Sultan Hamengkubuwono X dan GKR Hemas ini memegang dua peran strategis: Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nitya Budaya di Keraton Yogyakarta serta Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) DIY di bawah Pemerintah Provinsi DIY. Dua posisi ini punya satu benang merah yang sama yakni menjaga budaya tetap relevan dan bisa dirasakan generasi hari ini.
Pada pekan terakhir November lalu, kumparanWOMAN terbang ke Yogyakarta untuk sowan kepada Gusti Bendara. Di balik bangunan keraton yang megah, kami melihat bagaimana seorang perempuan dalam institusi budaya tertua di Indonesia menavigasi ekspektasi, tantangan, hingga realita yang sering kali datang berlapis.
Dalam Role Model edisi Desember ini, GKR Bendara berbagi cerita secara jujur, lugas, dan sesekali melempar humor jenaka tentang caranya menyeimbangkan modernitas yang bergerak cepat dan nilai-nilai luhur yang ia jaga tanpa kompromi.
Gusti Bendara merupakan pemrakarsa terselenggaranya Jogja Cultural Wellness Festival (JCWF) di bawah Badan Promosi Pariwisata Daerah DIY. Dari sekian banyak isu budaya dan pariwisata di Jogja, kenapa wellness yang dipilih untuk diangkat?
(Gusti Bendara/GB): Alasannya karena Yogyakarta ditetapkan sebagai salah satu dari tiga daerah yang punya fokus pengembangan wellness.
Sehingga kami sebagai badan promosi merasa berkewajiban untuk mendorong komunitas-komunitas wellness yang sudah terbentuk di Jogja agar dapat memperluas jangkauan serta menjalin komunikasi yang lebih erat dengan para pelaku industri pariwisata.
Gusti Bendara pernah menyinggung bahwa wellness di Indonesia terlalu lama didominasi oleh wellness seperti yoga yang ternyata berasal dari India. Apa keresahan terbesar Gusti Bendara soal narasi itu?
GB: Produk-produk budaya dari Indonesia termasuk Yogyakarta sebenarnya sangat beragam, tetapi belakangan suaranya mulai kurang terdengar. Padahal, banyak program budaya Yogyakarta yang dapat masuk atau dikategorikan sebagai bagian dari wellness.
Hanya saja, hingga kini belum ada pihak yang mendorong mereka untuk mengambil langkah lanjutan, dari sekadar budaya menjadi sebuah produk wellness.

1 day ago
2






























