Pena hingga kini masih menjadi representasi simbolik di belakang kreativitas sastra. Ia diawetkan antara lain lewat penggunaan gabungan kata “nama pena”. Selain itu, masih “buah pena”. (Sumber: Gemini AI)Sedikit mencengangkan juga. “Nama pena” ternyata tidak tercantum sebagai sublema kategori gabungan kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring). Dari lema “nama” muncul sublema yang memiliki panduan makna hampir searah, seperti “nama pedengan” yang bersinonim dengan “nama samaran”, yaitu nama yang menggantikan nama sebenarnya. Tentang nama sebenarnya, di situ terdapat sublema “nama daging” atau “nama tubuh”, yaitu nama pemberian orang tua sejak lahir.
Ada yang masih memiliki arah makna yang sama dengan “nama pena”, yaitu “nama panggung”, nama pilihan aktor atau aktris yang mereka gunakan saat tampil sebagai pemeran dalam seni pertunjukan teater baik tradisional maupun modern. Bisa jadi, karena jenis seni yang menjadi tempat berkiprah adalah panggung, bisa dalam makna panggung yang sebenarnya. Atau, bisa juga makna panggung sebagai kiasan dari pengejawantahan dari pengedepanan kemampuan memainkan seni berperan atau akting. Dan, di dunia sastra, simbol yang paling representatif adalah pena. Meskipun kini, orang lebih lazim menulis dengan laptop atau cukup smartphone.
Gabungan kata yang hadir dengan didahului kata “nama” lainnya, yaitu “nama alternatif” (dua nama untuk takson dan tingkat yang sama diterbitkan serentak oleh pengarang nama); “nama berterima” (nama ilmiah untuk marga suatu takson); “nama botani” (nama ilmiah tumbuhan); “nama cumbu” atau “nama timangan” (panggilan kesayangan); “nama daerah” (pemberian nama flora dan fauna dari penduduk tempat asal); “nama sistematik” (nama yang berdasarkan pada struktur sistematik suatu senyawa dalam Kimia).
Kemudian ada lagi “nama dagang” atau “nama produk” (tanda barang produksi suatu pabrik dalam dunia perdagangan); “nama diri” (penyebutan diri orang, benda, tempat); “nama domain” (nama untuk mengakses jaringan server di internet); “nama ejekan” (nama untuk mengejek orang); “nama generik” (nama kelas atau kumpulan benda serupa dalam Kimia); “nama ilmiah” atau “nama Latin” atau “nama teknik” (nama untuk tiap takson flora dan fauna yang berlaku universal dalam Biologi); “nama induk” (bagian nama khas dalam Kimia, misalnya etana nama induk etanol).
Selanjutnya, “nama jenis” (nama jenis umum benda atau konsep); “nama julukan” (nama yang ditambahkan atau dipakai sebagai pengganti nama asli, terkait dengan ciri tubuh atau watak khasnya); “nama kapal” (nama kapal niaga yang terdaftar, terpajang di kedua sisi); “nama kecil” (nama saat masih kecil); “nama lengkap” atau “nama terang” (nama identitas selengkapnya); “nama panggilan” (nama untuk sapaan); “nama sah” (nama atau penunjuk yang penerbitannya berlaku)
Selebihnya, ada “nama panggilan radio” (nama terdiri atas empat huruf dari isyarat internasional, diberikan kepada setiap kapal yang terdaftar oleh pemerintah atau negara pemilik kapal itu, sebagai isyarat radio untuk keperluan komunikasi); “nama pengarang” (nama orang yang memberikan dan menerbitkan nama ilmiah, penulisannya di belakang nama ilmiah yang bersangkutan, dalam Biologi); “nama rupabumi” (nama untuk unsur rupabumi); “nama trivial” (nama umum suatu senyawa yang tidak menggambarkan komposisi kimianya).
Dari penjelajahan di atas jelaslah, bahwa sublema kategori gabungan kata “nama pena” memang tidak termaktub di dalam KBBI VI Daring. Saya coba mencari di lema “pena”. Yang ada di jajaran sublema kategori gabungan kata, yaitu “pena bola” (bolpoin); “pena cahaya grafis” (istilah komputer berupa alat berbentuk pena yang mengeluarkan cahaya ketika mengarah ke layar penampil grafis yang memiliki fungsi sama dengan tetikus); “pena penanda” (pena warna berujung serong yang terdiri atas berbagai ukuran). Sama sekali tidak ada “nama pena”.
Nama Pena
Ilustrasi sebuah proses pembelajaran di kelas yang membahas nama pena salah satu khazanah Sastra Hiindia Belanda. (Sumber: Gemini AI)Cukup menarik juga KBBI VI Daring lebih membakukan “nama samaran” dan “pseudonim” (penyerapan dari kata bahasa Inggris, pseudonym). Padahal dalam kehidupan sehari-hari “nama pena” begitu nyata hadir pada aktivitas berbahasa sehari-hari. Di kamus daring tersebut, juga ada sublema kategori gabungan kata “buah pena” sebagai padanan dari “buah kalam” atau “buah karya”.
Walaupun “nama pena” (pen name) sudah hadir jauh sebelumnya, ia pernah tampil sezaman dengan “sahabat pena” di masa lalu. Biasanya bermula adanya rubrik di media massa cetak, entah majalah entah koran (biasanya di edisi Minggu yang memiliki rubrik untuk remaja). Ada pemuatan foto-foto diri (kebanyakan berupa pasfoto), dengan informasi nama, tempat/tanggal lahir, sekolah, alamat, hobi, cita-cita, dan kata-kata inspiratif. Dari sinilah pertemanan via surat kemudian dapat terjalin.
Tentu saja, kini sahabat pena sudah menjadi bagian dari masa lalu. Sudah tidak ada lagi, anak-anak remaja sekarang melakukan kegiatan menulis ataupun membalas surat dalam wujud aktivitas yang melibatkan kertas dan pena. Bersurat lewat jasa Kantor Pos. Kini sudah ada WhatsApp yang lebih praktis. Lagi pula, dahulu pun saat menulis bukan lagi dengan “pena” (alat menulis dengan tinta, apalagi yang dicelupkan ke botol tinta), melainkan “bolpoin” (alat menulis bermata bulat/tumpul dengan tinta kental dalam tabung kecil). Kalaupun masih terkait dengan pena, yaitu karena “bolpoin” adalah sinonim dari “pena bola”. Namun setahu saya, “pena bola” tidak pernah bisa menandingi popularitas “bolpoin” dalam kehidupan berbahasa sehari-hari.
Bisa jadi penggunaan kata “pena” di sini mirip dengan “kereta api” sebagai bagian dalam bahasa Indonesia. Kita semua tahu, teknologi yang pertama kali hadir, daya penggeraknya dari uap air di ketel uap. Dan, untuk menguapkan airnya di bawah ketel uap terjadilah proses pengapian dengan bahan bakar batubara. Nah, dari sinilah kemudian muncul istilah “kereta api”. Lalu, manakala teknologi penggeraknya terus berkembang, di KBBI VI Daring, masih tersedia sublema kategori gabungan kata, yaitu “kereta api diesel”, “kereta api listrik”, “kereta api magnet”. Inilah yang disebut dengan istilah “fosil linguistik” atau “relik linguistik”. Kata atau gabungan kata yang tetap menjadi referen (objek) dalam komunikasi sehari-hari, meskipun wujud aslinya telah tidak ada lagi.
Demikian pula kiranya dengan kata “pena”. Pada hemat saya, ia pun fosil linguistik. Meskipun sebagai alat tulis, ia lebih banyak berada di realisasi pemakaian pada masa silam, eksistensi penerapannya masih tetap berlangsung hingga sekarang melalui gabungan kata “nama pena”. Sekarang pun masih diproduksi “pulpen”, nama lain pena, dengan isi tinta cair (fountain pen), diminati para kolektor dan sebatas lingkungan pencinta benda itu. Tapi wujud bendanya, sekalipun tidak betul-betul menghilang, tetapi sudah relatif jarang kedapatan.
Relevansinya yang paling pas, yaitu saat dahulu kala ada penyair atau penulis novel yang menulis karyanya di atas lembar-lembar kertas dalam penerangan cahaya lilin. Mereka memublikasikan karya puisi atau novelnya itu dengan nama yang bukan sebenarnya. "Nama pena". Kemudian, seiring dengan perubahan jenis alat tulisnya, dari bolpoin lalu mesin tik, hingga kini dengan komputer desktop, laptop, ataupun smartphone. Meski demikian, ketika mereka menulis dengan nama yang bukan sebenarnya, istilahnya tetap “nama pena”.
Mode Nama Pena
Penambahan nama daging atau nama tubuh yang merupakan pemberian orang tua ketika lahir, juga dapat menjadi salah satu mode nama pena. Sastrawan terkemuka Indonesia kontemporer Triyanto Triwikromo, kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 15 September 1964, menggunakan mode ini.
Penulis Novel Seperti Gerimis Merah di Auschwitz dan Antologi Puisi/Prosa Liris Dalam Hologram Kafka terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada tahun 2025 itu memiliki nama daging Triyanto. Adapun Triwikromo adalah nama tambahannya. Dalam filsafat Jawa, tambahan nama ini merujuk pada kemampuan menyatukan pikiran jernih (cipta), perasaan tulus (rasa), dan tindakan nyata (karsa).
Sastrawan terkemuka Indonesia lainnya, yaitu Sitok Srengenge, kelahiran Godong, Grobogan, Jawa Tengah, 22 Agustus 1965. Penulis Novel Menggarami Burung Terbang, Antologi Puisi Kelenjar Bekisar Jantan, Buku Antologi 72 Esai Sastra Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil memiliki nama tubuh Sunarto. Dia menggunakan nama pena yang jauh berbeda dari nama pemberian orang tuanya. Sitok Srengenge (Matahari Tunggal) mencerminkan filosofi, harapan, dan identitas artistiknya.
Ada pula mode nama pena yang merupakan nama panggilan akrabnya. Sebut saja Dewi Lestari Simangunsong, kelahiran Bandung, Jawa Barat, 20 Januari 1976 . Dia menggunakan nama pena Dee yang notabene adalah panggilan akrabnya. Nama cumbunya. Anggota grup vokal Rida Sita Dewi (RSD) yang kemudian tersohor juga sebagai penulis novel sukses seperti seri Supernova itu memilih Dee yang singkat, catchy, dan unik.
Pilihan nama pena ini menjadi tenaga dorong yang kuat dan mudah bagi orang untuk mengenalinya. Terpisah dari kariernya sebagai penyanyi yang sudah terlebih dahulu terbentuk. Dan, Dee sudah sangat melekat, media dan para pembaca setianya acapkali menggunakan atau menyebut nama pena itu.
Tujuan mode penggunaan nama pena yang sing...

17 hours ago
6






























