Jakarta (ANTARA) - Ketegangan antara China dan Jepang mengenai masa depan Taiwan bukan hanya bagian dari dinamika geopolitik yang berlangsung di atas permukaan.
Di balik sorotan publik terhadap manuver militer, pernyataan diplomatik, atau latihan angkatan bersenjata, terdapat dimensi lain yang tidak kalah menentukan yakni spionase, operasi siber, dan propaganda digital. Ketiganya menciptakan arsitektur narasi yang memengaruhi cara dunia memahami konflik ini.
Untuk membaca bagaimana pemberitaan terbentuk, Teori Framing dari Robert Entman (1993) menjadi kaca pembesar yang relevan. Teori ini menjelaskan bahwa media memilih aspek tertentu dari realitas, menonjolkannya, menafsirkan penyebabnya, menilai moralitas aktor yang terlibat, dan menawarkan solusi tertentu. Dengan kata lain, media tidak hanya memberitakan, tetapi secara aktif menyusun bingkai interpretasi.
Dalam konteks krisis China-Jepang terkait Taiwan, teori tersebut memperlihatkan bagaimana spionase, propaganda digital, dan kepentingan nasional berkelindan membentuk persepsi publik. Tulisan ini mencoba menguraikan dinamika tersebut dengan pendekatan naratif yang runut dan mudah diikuti.
Baca juga: Peningkatan Kekuatan AL China akan perkuat pertahanan nasional
Panggung ketegangan
Taiwan bukan sekadar pulau yang terletak di antara Laut China Timur dan Laut China Selatan. Ia adalah simpul strategis yang menghubungkan jalur perdagangan global, pusat manufaktur semikonduktor dunia, dan kepentingan keamanan dua negara besar Asia.
Bagi China, Taiwan adalah simbol utama integritas teritorial dan proyek peradaban yaitu “reunifikasi nasional”. Bagi Jepang, stabilitas Selat Taiwan adalah syarat kelangsungan jalur energi yang melewati Okinawa serta perlindungan rantai pasok teknologi domestik.
Konsekuensinya, setiap pergerakan kapal, perubahan kebijakan, atau pernyataan pejabat mengenai Taiwan selalu menjadi berita yang tidak hanya dikonsumsi publik, melainkan dibingkai secara spesifik oleh media masing-masing negara.
Melalui Teori Framing Entman, kita dapat melihat bagaimana media China menonjolkan Jepang sebagai negara yang kembali “remiliterisasi”, sementara media Jepang menyoroti aktivitas militer dan intelijen China sebagai ancaman langsung. Dengan demikian, pemberitaan tidak hanya menggambarkan keadaan, tetapi mengarahkan publik pada kesimpulan tertentu.
Baca juga: China pantau kapal perang AS di Selat Taiwan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

9 hours ago
3







































