Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie menyebut Polri telah mulai mengurangi jumlah tersangka terkait kericuhan dalam aksi demonstrasi pada Agustus 2025.
Namun, ia menegaskan banyak kasus yang sudah telanjur masuk ke pengadilan sehingga sulit dihentikan.
“Sudah, mereka lagi kaji. Kan sudah ada. Sudah ada yang dikurangi,” kata Jimly saat ditemui di Tennis Indoor Stadium Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (10/12).
Ia menyebut pengurangan tersangka dilakukan di beberapa wilayah. Meski begitu, proses evaluasi oleh Polri masih berjalan.
“Ada di beberapa daerah. Cuma mereka lagi evaluasi. Kalau sudah masuk ke pengadilan, kan nggak bisa lagi,” ujarnya.
Jimly menjelaskan, sejumlah tersangka yang belum masuk ke tahap persidangan memang telah dikurangi statusnya. Namun sebagian besar kasus demonstran kini sudah menjalani proses hukum di pengadilan sehingga harus hormati proses hukum.
“Iya, tapi banyak yang sudah masuk. Jadi kalau sudah masuk, kita harus hormati proses hukum, nanti bagaimana putusan pengadilan,” ucapnya.
Terkait nama-nama yang sebelumnya direkomendasikan untuk mendapat perhatian, salah satunya Laras Faizati, Jimly mengatakan perkaranya juga sudah masuk ke persidangan.
“Itu juga. Kan sudah ada yang disidang. Jadi kita berharap hakim menggunakan hati nuraninya. Jadi untuk kasus-kasus yang sudah masuk begitu, bukan sekadar mencari kesalahan. Tapi cari mens rea (niat jahat),” kata Jimly.
“Jadi penjara itu, hanya dimaksudkan untuk orang jahat. Bukan orang salah. Nah, prinsip itu harus ada di vision-nya para hakim. Jadi jangan sekadar benar salah,” lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa ruh dari hukum bukan semata formalitas benar dan salah, namun keadilan.
“Memang benar hukum itu berkenaan dengan benar atau salah. Tapi, ruh dari hukum itu etika, baik buruk. Maka di tangan hakim lah kearifan tentang keadilan itu,” kata Jimly.
“Jadi jangan hanya melihat aspek formalitas hukum. Hukum itu bicaranya benar salah, formal. Tapi ruh dari hukum itu keadilan. Keadilan itu juga mencakup ya, baik buruk, etika, gitu,” sambung dia.
Jimly mengingatkan agar hakim berhati-hati dalam menjatuhkan putusan agar tidak kembali menghasilkan perkara-perkara yang membuat Presiden Prabowo Subianto harus turun tangan memberikan grasi, amnesti, abolisi, atau rehabilitasi.
Ia mencontohkan guru yang dipidana karena mengumpulkan dana untuk membayar honor guru honorer. Lalu ada juga kasus eks Dirut ASDP Ira Puspadewi yang kemudian mendapatkan rehabilitasi. Menurutnya, hal itu mencerminkan kurangnya kearifan dalam putusan.
“Jadi Hakim Agung pun harus mengoreksi diri. Jadi untuk hal-hal yang sudah masuk proses hukum, ya polisi nggak bisa, ya kan menghentikan. Maka kuncinya itu di kearifan hakim,” kata Jimly.

1 day ago
4






























