SOPIAN
Pendidikan dan Literasi | 2025-12-12 15:37:09
Ilustrasi Hantu Tak Lagi Menakutkan, Sumber: Pinterest
Di banyak daerah di Indonesia, cerita hantu pernah menjadi sarana efektif untuk menertibkan anak, menguatkan tradisi, hingga membentuk batas-batas moral. Namun, di tangan Gen Z generasi yang tumbuh bersama internet berkecepatan tinggi, berhadapan dengan informasi tanpa henti kisah-kisah itu mengalami perubahan besar. Apa yang dahulu dianggap menakutkan, kini sering dijadikan bahan humor, konten kreatif, atau bahkan dianggap sebagai kesalahan persepsi otak manusia.
Pola Pikir Gen Z yang Lebih Rasional
Fenomena ini menarik untuk diamati. Gen Z bukan sekadar tidak percaya pada hantu, melainkan memiliki kerangka berpikir yang berbeda. Mereka lebih terbiasa mencari penjelasan ilmiah daripada menerima cerita mistis begitu saja. Ketika terdengar suara aneh di rumah, generasi sebelumnya mungkin langsung mengaitkannya dengan “penghuni lain”. Gen Z justru bertanya: “Jangan-jangan itu karena hewan, angin, atau ilusi pendengaran?”
Di era digital, berbagai penjelasan ilmiah tentang halusinasi, mimpi sadar, sleep paralysis, sampai fenomena pareidolia sangat mudah diakses. Ketika seseorang merasa melihat sosok misterius, Gen Z cenderung mengaitkannya dengan kondisi psikologis atau optik, bukan makhluk gaib. Bukan karena mereka tidak menghargai budaya, tetapi karena terbiasa memeriksa ulang.
Namun menariknya, perubahan ini tidak berarti Gen Z sepenuhnya meninggalkan cerita horor. Justru sebaliknya: mereka aktif mengonsumsi dan memproduksi konten-konten seram film, podcast, urban legend, hingga thread Twitter. Bedanya, mereka menikmatinya sebagai hiburan, bukan dogma. Hantu tidak lagi berfungsi sebagai ancaman, melainkan sebagai narasi kreatif yang memicu rasa penasaran.
Fenomena ini juga dipengaruhi oleh pola komunikasi digital. Ketika cerita horor dibahas secara terbuka di media sosial lengkap dengan meme, teori alternatif, dan debat logis “rasa takut” yang dahulu diwariskan secara personal kini menjadi sesuatu yang bisa dibongkar bersama. Ketakutan berubah dari hal yang harus dihindari menjadi topik yang bisa didiskusikan secara santai. Proses ini sekaligus menggeser posisi hantu: dari sosok misterius menjadi objek analisis kolektif.
Selain itu, tumbuhnya kesadaran akan kesehatan mental punya peran besar. Banyak cerita yang dahulu dianggap sebagai “gangguan makhluk halus” kini lebih sering dikaitkan dengan stres, kurang tidur, trauma, atau kecemasan. Gen Z melihat bahwa memahami kondisi psikologis seseorang jauh lebih penting daripada menghakiminya melalui kacamata supranatural.
Tetapi, bukan berarti perubahan cara pandang Gen Z harus dianggap sebagai benturan terhadap budaya. Justru, ini membuka ruang baru: bagaimana tradisi, cerita rakyat, dan warisan leluhur dapat dihadirkan kembali dalam format yang lebih relevan, kritis, dan kreatif. Cerita hantu bisa tetap hidup, tetapi dengan pemahaman yang lebih luas bukan sekadar menakut-nakuti, melainkan sebagai bagian dari identitas budaya dan cara kita bercerita.
Pada akhirnya, pernyataan “hantu hanyalah halusinasi” tidak harus dipahami sebagai penolakan mutlak terhadap dunia mistis. Lebih tepatnya, dia mencerminkan cara baru Gen Z memaknai ketakutan, pengetahuan, dan pengalaman manusia. Sosok-sosok gaib mungkin tetap menghuni cerita-cerita kita, tetapi kini mereka lebih banyak berdiam di ruang imajinasi daripada di sudut-sudut gelap rumah.
Penulis:
Sopian
Universitas pamulang,Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Program Studi Manajemen
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

3 hours ago
3































