gambar oleh t.wurdemann dalam Master ApollonBagi generasi muda global hari ini, Prancis tidak hanya hadir sebagai negara, tetapi sebagai pengalaman visual. Anak muda lebih mengenal Prancis dari potongan video TikTok berdurasi lima detik, sinematik Paris di Instagram Reels, atau cuplikan museum vlog dengan filter vintage. Yang mereka konsumsi bukanlah sejarah Prancis, melainkan image Prancis yang menkonstruksi estetika yang romantis, lembut, dan penuh warna biru malam. Salah satu ikon paling kuat dari konstruksi ini adalah Starry Night, lukisan yang seolah-olah telah menjadi identitas artistik Prancis, padahal diciptakan oleh Vincent van Gogh, yang berasal dari Belanda.
Ironi ini menarik karena mengapa karya seorang Belanda bisa menjadi “seni Prancis” dalam gambaran umum publik? Dan lebih jauh lahi bagaimana sebuah negara bisa diuntungkan oleh imaji yang tidak sepenuhnya berasal dari dirinya?
Seorang pemikir asal Prancis, Jean Baudrillard menawarkan sebuah kacamata yang relevan, yaitu teori simulacra. Dalam Simulacra and Simulation (1981), Baudrillard menjelaskan bahwa masyarakat modern tidak lagi hidup dalam realitas, tetapi dalam representasi yang menggantikan realitas. Representasi itu, ketika direproduksi terus-menerus, akhirnya membentuk kebenarannya sendiri. Dalam konteks ini, Prancis bukan hanya negara, tetapi simulacrum sesuatu yang tampak nyata karena kita melihatnya jutaan kali, bukan karena ia benar.
Di era modern generasi muda, terutama Gen Z, hidup dalam ekosistem visual yang mempercepat lahirnya simulacra. Ketika mereka mengunggah foto diri di depan Musée d’Orsay dengan caption “living my art girl era”, mereka tidak sedang mengafirmasi sejarah seni Prancis, namun mereka sedang mengafirmasi image Prancis yang telah diinternalisasi. Wajah Prancis sebagai “ibu kota seni dunia” bukan lagi fakta historis yang diuji, tetapi estetika yang dikonsumsi dan direproduksi. Dalam konteks ini, Starry Night menjadi salah satu titik referensi utama.
Meskipun Van Gogh lahir di Belanda, generasi muda tidak terlalu peduli pada asal-usul nasionalitas seorang seniman. Yang mereka konsumsi adalah atmosfer, aura, dan visualitas. Dan karena Starry Night lahir dari periode Van Gogh di Prancis, karya itu dengan mudah direkatkan dengan “image Prancis” terutama karena museum, buku, film, dan media sosial terus mengasosiasikan karya itu dengan keindahan lanskap malam Prancis, meskipun konteks historisnya jauh lebih kompleks.
Di sinilah Prancis mendapatkan keuntungan simbolik. Pierre Bourdieu (1986) menyebut ini sebagai symbolic capital, yaitu modal yang tidak berupa uang, tetapi berupa prestise, legitimasi, dan pengaruh. Prancis memiliki salah satu brand simbolik terkuat di dunia, terutama dalam seni dan budaya. Yang menarik, sebagian dari modal simbolik itu tidak selalu berasal dari seniman Prancis sendiri, tetapi dari seniman internasional yang karyanya dinarasikan ulang dalam orbit Prancis.
Fenomena ini terlihat jelas dalam youth culture. Gen Z tumbuh di era ketika seni menjadi bagian dari estetika personal, bukan pengetahuan akademik. Mereka mengenal Van Gogh bukan dari buku sejarah seni, tetapi dari tote bag, wallpaper ponsel, filter TikTok bertema “Van Gogh style”, atau merchandise museum. Di titik ini, Starry Night tidak lagi dibaca sebagai karya individu, tetapi sebagai simbol universal tentang keindahan dan melankolia yang entah bagaimana dianggap selaras dengan citra Prancis.
Ini adalah simulacra dalam bentuk paling murni, representasi yang tidak lagi berhubungan dengan asal-usulnya. Sebagaimana Baudrillard (1981) menyebutkan bahwa, simulacra tidak menyalin kenyataan, tetapi menciptakan kenyataan baru. Prancis akhirnya menjadi “negara yang tidak pernah ada” dalam arti tertentu, negara yang hadir terutama dalam bentuk citra dan estetika, bukan dalam kondisi sosial, politik, atau historis yang kompleks.
Dari perspektif youth international, Prancis bahkan bukan sekadar destinasi wisata, tetapi semacam lifestyle aspiration. Mereka ingin mengalami “Prancis” sebagaimana yang ada di kepala mereka, seperti kota estetis, angin malam yang romantis, kehidupan kafe yang tenang, seni yang emosional. Kehidupan nyata Prancis seperti multikulturalisme, isu imigrasi, konflik politik, atau masalah ekonomi tertutupi oleh simulacra estetis yang jauh lebih mudah dikonsumsi.
Di sisi lain, Prancis dengan cerdas memanfaatkan image ini melalui museum, pariwisata budaya, festival seni, dan diplomasi kultural. Negara tersebut tidak perlu membangun narasi baru karena reproduksi digital dari imaji lama sudah bekerja otomatis. Bahkan karya seni yang tidak sepenuhnya “miliknya” pun, seperti Starry Night, ikut memperbesar aura artistik Prancis di mata dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam era visual culture, negara tidak hanya bersaing dalam hal ekonomi atau militer, tetapi juga dalam kompetisi representasi. Dan dalam kompetisi ini, Prancis adalah salah satu pemenang terbesar.
Bagi generasi muda global, Prancis bukan sekadar negara, namun negara ini menggambarkan emosi, warna, dan estetika yang terus direproduksi. Kita tidak benar-benar mengenal Prancis. Kita mengenal gambaran tentang Prancis yang dibentuk oleh simulacra, dam di sinilah letak kekuatan Prancis yang merupakan kekuatan untuk hidup di imajinasi orang-orang, bahkan ketika imajinasi itu lahir dari karya seorang Belanda.

20 hours ago
7






























