Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) menyiapkan perluasan instrumen operasi moneter valuta asing (valas) dengan instrumen spot dan swap dalam valuta yuan China (CNY) dan yen Jepang (JPY) terhadap rupiah.
Hal ini merupakan bagian dari langkah penguatan strategi operasi moneter pro-market dalam mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah dan memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam konferensi pers hasil RDG BI bulan November 2025 di Jakarta, Rabu, menjelaskan bahwa upaya stabilisasi yang selama ini dilakukan melalui intervensi di pasar off-shore serta triple intervention belum cukup.
“Jadi apa yang kemudian dikembangkan oleh kami adalah lebih sifatnya memang struktural, yaitu bagaimana kami memperdalam pasar valas di domestik,” kata Destry.
Selain untuk mendukung operasi moneter, BI juga mendorong pendalaman pasar uang dan pasar valas domestik dalam transaksi yuan China dan yen Jepang terhadap rupiah guna memperkuat pemanfaatan local currency transaction (LCT).
Destry mencatat bahwa transaksi LCT dengan China terus meningkat dan saat ini mencapai sekitar 1 miliar dolar AS per bulan. Namun, perbankan masih menghadapi keterbatasan pasokan yuan China (renminbi/RMB) di pasar domestik.
Untuk menjawab kebutuhan tersebut, BI menyiapkan perluasan instrumen, baik untuk operasi moneter maupun transaksi pasar, dalam transaksi yuan China terhadap rupiah.
Langkah ini diharapkan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, karena selama ini pelaku pasar harus membeli dolar terlebih dahulu sebelum menukarkannya menjadi yuan.
Destry mengungkapkan bahwa sejauh ini, perkembangan LCT menunjukkan pertumbuhan signifikan.
Hingga Oktober, nilai transaksinya telah meningkat 1,6 kali lipat dibandingkan realisasi sepanjang tahun lalu. Jumlah pesertanya juga melonjak menjadi 15.473, dari sebelumnya 5.053 pada 2024.
“Oleh karena itu, kami mengantisipasi dengan membuka untuk pasar renminbi dan juga untuk pasar yuan di domestik,” kata Destry.
Ia mengingatkan bahwa kondisi global saat ini masih dipenuhi ketidakpastian, dengan indeks dolar AS (DXY) yang cenderung menguat dan imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor panjang tetap tinggi.
Situasi ini mendorong risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga arus masuk modal ke emerging market juga terbatas.
Destry mengatakan dampak tekanan global ini terlihat pada nilai tukar rupiah dan beberapa mata uang regional yang melemah sejak Oktober.
Sejak awal Oktober hingga saat ini, rupiah terdepresiasi sebesar 0,48 persen. Mata uang negara tetangga juga mengalami pelemahan, seperti peso Filipina 1,34 persen, baht Thailand 0,21 persen, dan won Korea Selatan 4,25 persen.
Meski demikian, pada perdagangan hari ini, rupiah menguat 0,21 persen, diikuti peso Filipina 0,25 persen dan baht Thailand 0,11 persen, mencerminkan fluktuasi pasar yang masih berlangsung.
Baca juga: Sudah turun lima kali, BI masih buka ruang pemangkasan bunga acuan
Baca juga: BI perkuat kebijakan moneter untuk dorong ekonomi dan jaga stabilitas
Baca juga: Ada SAL dan moneter longgar, BI minta bank cepat turunkan bunga
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.






































