Tantangan pemenuhan protein Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi fokus utama dalam forum Focus Group Recommendation: Rantai Pasok Inklusif Susu dan Protein MBG yang diselenggarakan Badan Gizi Nasional (BGN) dan KADIN DIY, di Hotel D'Senopati, Yogyakarta, Jumat (28/11/2025). Forum ini membahas persoalan paling mendasar: ketersediaan protein dalam negeri belum siap memenuhi kebutuhan MBG dalam skala penuh.
Dalam paparannya, Epi Taufik, Tim Pakar BGN Bidang Susu, menjelaskan bahwa konsumsi protein hewani Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN. Konsumsi susu berada di posisi terbawah, sementara konsumsi daging sapi dan ayam juga tertinggal jauh. Satu-satunya komoditas yang relatif baik adalah telur.
Kondisi ini berdampak langsung pada kualitas SDM. Rata-rata IQ nasional berada di angka 78, sedangkan data International IQ Test menunjukkan skor 92,64, tetap menjadi yang terendah di Asia Tenggara. Indonesia berada di bawah Laos (92,72), Kamboja (95,36), Myanmar (97,39), Filipina (96,37), Thailand (98,46), Malaysia (99,55), Vietnam (101,45), dan Singapura (106,18).
Epi menegaskan bahwa anak-anak Indonesia masih banyak yang berangkat sekolah tanpa sarapan atau hanya mengonsumsi karbohidrat seperti nasi, mie, dan kerupuk tanpa protein memadai. “Kalau kualitas proteinnya tidak hadir, dampaknya jangka panjang,” katanya.
Impor Masif Susu dan Daging Mengancam Pelaksanaan MBG
Masalah besar lain adalah ketergantungan pada impor. Indonesia masih mengimpor 80 persen susu dan 52 persen daging sapi. Ayam dan telur relatif cukup, tetapi sumber protein lain belum siap apabila jumlah penerima MBG mencapai 80 juta anak.
Epi mengingatkan bahwa MBG jangan sampai meningkatkan impor produk hewani karena akan membebani anggaran, mengganggu industri lokal, dan tidak berkelanjutan. “Kita harus mencari sumber protein yang bisa dipenuhi dari dalam negeri,” ujarnya.
Ultimeat Ajukan Microprotein Berbasis Singkong dan Gula
Menanggapi kondisi tersebut, perusahaan teknologi pangan Malaysia, Ultimeat (M) Sdn Bhd, menawarkan solusi berupa microprotein hasil fermentasi yang sepenuhnya dapat diproduksi menggunakan singkong dan gula dari petani Indonesia.
Founder & CEO Ultimeat, Edwin Lee, menyampaikan bahwa teknologinya telah dikembangkan selama lebih dari 40 tahun. Microprotein diproses dalam 7 hari melalui fermentasi jamur (mycelium), menghasilkan protein berkualitas tinggi dan stabil.
Analisis internal perusahaan menunjukkan nilai ketercernaan (PICAS) microprotein mencapai 99,6 persen, mengungguli protein nabati seperti kedelai (91 persen), whey protein (42 persen), hingga beberapa kategori protein bayi (78 persen). Kandungannya mencapai 26 persen protein per 100 gram dan mengandung serat beta-glucan yang baik untuk kesehatan usus.
Harga Stabil, Rasa Netral, dan Uji Coba di 30 Dapur MBG

1 week ago
15







































