Konsultan real estate, Leads Property, menyebut sektor kondominium atau hunian vertikal yang dimiliki secara perorangan di Jakarta tak mengalami banyak pergerakan. Hal ini karena mayoritas masyarakat masih lebih banyak memilih rumah tapak.
Dalam ringkasan pasar oleh Leads Property tercatat harga jual rata-rata per meter kondominium di Jakarta hanya mengalami pertumbuhan 0,5 persen pada kuartal III 2025 dibanding kuartal II 2025. Harga rata-ratanya senilai Rp 27,8 juta per meter.
“Orang-orang dengan budget Rp 1 miliar masih mencari landed housing walaupun harus pergi ke Depok, Bekasi, ke Bogor, dan lain-lainnya,” kata Associate Director Research & Consultancy Department Leads Property, Martin Hutapea dalam media briefing Leads Property di Discovery Hotel, Jakarta Selatan pada Kamis (20/11).
Berdasarkan data Leads Property, saat ini total kondominium di Jakarta yang belum terjual mencapai 44,2 ribu unit, angka ini merupakan angka dari proyek-proyek yang pernah diluncurkan. Pada kuartal III 2025, permintaan kondominium juga baru mencapai 288 unit yang didominasi segmen atas dan mewah.
Maka dari itu, menurut Martin seharusnya penjualan hunian vertikal seperti kondominium juga mendapat berbagai dukungan. Dia mencontohkan pada saat pandemi COVID-19, beberapa developer kondominium juga menanggung Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Hal inilah yang membuat sektor kondominium sempat mengalami perkembangan pada tahun 2020-2023.
“Karena dulu pada saat COVID, selain PPN DTP, beberapa developer menanggung BPHTB, 10-15 persen sendiri (dari harga). Itu belum discount. Discount dari developer pada saat itu bisa sampai 15 persen. Bahkan di sektor developer itu sampai 20 persen buatkan isi stok. Jadi udah berarti 15-30 persen. Makanya di kurun waktu 2020-2023 itu adalah the best selling,” ujarnya.
Hal lain yang juga disoroti adalah stimulasi terhadap pasar apartemen. CEO Leads Property, Hendra Hartono, menilai jika konsep hunian vertikal didorong, seharusnya KPR apartemen bisa lebih mudah ketimbang KPR untuk rumah tapak.
“KPR apartemen harusnya harus lebih murah di bank oleh pemerintah dibandingkan dengan KPR rumah tampak. Itu sepertinya jalan untuk biar apartemen (diminati) mungkin cuma setengah persen (bunga),” kata Hendra.
Dengan begitu, apartemen tak hanya menyasar kalangan tua seperti pensiunan. Menurutnya saat ini tren apartemen justru lebih diminati oleh orang yang sudah ingin pensiun dan sudah tidak memerlukan rumah dalam ukuran besar. Padahal, Gen Z adalah millennial juga merupakan target yang cocok.
“Gen Z atau milenial yang masih berjuang dalam karier mereka, masih perlu banyak pengeluaran. Dulu waktu apartemen harga Rp 500-800 juta masih menarik, sekarang rumah juga Rp 500 juta, rumah tapak, KPR juga sama, ya enggak menarik (apartemen),” kata Hendra.
Maka dari itu, menurutnya harus ada beberapa unsur biaya yang dikurangi serta bunga bank yang lebih rendah agar apartemen diminati generasi muda. Jika hal itu tidak dilakukan, nantinya pengembang properti juga bisa lebih susah untuk mendapat pasar millenial dan Gen Z.
“Nanti dia (milenial dan Gen Z) taruh aja uangnya di bank diam aja di deposit. Ngapain main properti? Jadi pemain properti menurut saya ke depannya susah kalau yang namanya (mendapat pasar) milenial, karena mereka enggak pernah lihat menariknya properti,” ujarnya.

23 hours ago
6






































