Filsafat Anti-Bising

11 hours ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Ilustrasi remaja bermain sosial media. Foto: Rawpixel.com/Shutterstock

Bayangkan, di kala kita membuka ponsel, dunia seakan menumpahkan segalanya ke kepala kita. Berita politik yang panas, desas-desus selebriti yang berganti tiap jam, teori konspirasi yang entah dari mana sumbernya, hingga “fakta” yang dibentuk oleh sepotong video berdurasi pendek, kita terombang-ambingkan di tengah arus informasi yang deras dan tak berujung bahkan sebelum sempat kita menyeduh kopi di pagi hari.

Kadang rasanya dunia sekarang terlalu ramai untuk dihadapi, terlalu cepat untuk dimengerti, serta terlalu simpang siur untuk dipercayai. Di tengah hiruk pikuk ini, banyak orang jadi cemas – takut tertinggal informasi, takut salah paham, takut dianggap tak tahu apa-apa – padahal justru ketakutan itu yang bikin kita lumpuh: pasif dalam berpikir, mudah bereaksi, dan jadi skeptis yang paling dangkal.

Kita hidup di zaman ketika informasi bukan lagi sesuatu yang kita cari, tetapi sesuatu yang terus mengejar kita. Notifikasi terus berdenting, algoritma memanjakan emosi, dan opini berseliweran tanpa kendali. Setiap orang merasa punya kebenarannya sendiri yang sering kali didasari emosi daripada logika. Akibatnya, manusia modern menjadi individu yang haus akan berita baru, tapi kehilangan kemampuan mencerna dengan benar. Kita banyak membaca, tapi paham sedikit. sok tahu segalanya, tapi nyaris kedalaman dan keautentikannya dilupakan.

Kecemasan informasi ini bukan cuma masalah teknologi, tapi juga tentang bagaimana kita kehilangan kendali atas pikiran sendiri. Kita dipaksa bereaksi sebelum berpikir, berkomentar sebelum paham, dan membagikan sebelum memverifikasi. Bahkan mirisnya, media yang seharusnya menjaga kebenaran, kini ikut terjebak dalam logika kecepatan dan viralitas yang menggeser ketelitian.

Di tengah banjir informasi, manusia modern malah menjadi pasif. Bukan karena kekurangan data, tapi karena meledaknya rangsangan. Setiap mendapat informasi baru kita merasa tahu, padahal malah menambah lapisan kebingungan. Kita jadi penonton dari kebenaran yang diatur algoritma – yang memahami kita lebih daripada kita memahami diri sendiri.

Fenomena ini memantik ilusi partisipasi: seolah dengan membagikan, berkomentar, atau memberi like, kita sudah terlibat dalam diskusi. Padahal, semua itu sering kali hanya memperkuat bias yang sudah ada. Filsuf David Hume menyebutnya “asosiasi kebiasaan” makin sering kita melihat sesuatu, makin kita percaya bahwa itu benar – walaupun belum tentu terbukti kebenarannya.

Skeptisisme René Descartes: Meragukan untuk Kembali Berpikir

Di tengah kekacauan ini, Rene Descartes bisa menjadi teman refleksi yang relevanpada era saat ini, filsuf Prancis abad ke-17 ini hidup di masa ketika manusia juga ombang-ambingkan oleh berbagai keyakinan: dogma agama, otoritas kerajaan, dan “kebenaran” ilmu yang belum jelas. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes memilih jalan berani – meragukan segala hal yang bisa diragukan bahkan ia meragukan indra, logika, dan realitas sekitarnya – hingga ia menemukansatu kepastian: cogito ergo sum – aku berpikir, maka aku ada.

Kalimat itu sering disalahkan sebagai kesombongan intelektual. Padahal, maksudnya adalah kesadaran bahwa berpikir adalah satu-satunya hal yang pasti di tengah kabut ketidakpastian. Skeptisisme ala Descartes bukan ajakan untuk curiga terhadap semua hal, melainkan latihan disiplin agar kita tidak terjebak keyakinan yang rapuh.

Coba bayangkan cara berpikir di era media sosial, ketika hoks menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, dan opini bisa terdengar lebih lantang daripada fakta. Skeptisisme Descartes mengajak kita berhenti sejenak sebelum menyentuh tombol share, menahan emosi, dan bertanya dengan jernih: dari mana asalnya? bagaimana datanya? apakah logikanya utuh atau sekedar permainan kata saja?

Descartes mengajarkan bahwa kebenaran tidak datang dari keramaian, melainkan dari konsistensi berpikir yang diuji lewat keraguan. Dengan cara ini, skeptisisme menjadi semacam “kebersiha mental” bikin kita tetap waras di tengah kebisingan digital.

Skeptisisme Empiris David Hume: Antara Kebiasaan dan Kenyataan

Namun, tidak cukup hanya mengandalkan rasio. David Hume, filsuf asal Skotlandia abad ke-18, menambahkan satu dimensi lain: pengalaman manusia. menurut Hume, banyak hal yang kita yakini bukan berasal dari logika murni, melainkan dari kebiasaan. Kita mengetahui sebab-akibat bukan karena kita tahu pasti hubungan itu ada, tetapi karena terbiasa melihatnya terjadi.

Misalnya, kita percaya bahwa matahari pasti terbit besok pagi bukan karena kita punya bukti sesungguhnya, tapi karena hal tersebut berulang-ulang terjadi, inilah yang disebut Hume sebagai custom atau kebiasaan pikiran. Nah, dalam persoalan dunia digital sekarang, kebiasaan ini memiliki wajah berbeda. Setiap kali kita mambuka media sosial, algoritma menayangkan hal-hal yang serupa dengan apa yang pernah kita sukai atau percayai. Makin sering kita melihat hal tersebut, semakin kita menganggap itu benar meski tanpa memferivikasi dulu.

Hume seakan sudah meramalkan bias konfirmasi di era algoritmik ini. kita hidup dalam gelembung kebiasaan yang dibangun sistem otomatis yang menyuapi makan keyakinan kita sendiri. Kita menjadi “percaya” bukan karena tahu, tapi karena indra kita terbiasa menyerapnya berulang kali. skeptisisme Hume menuntun kita untuk segera terbangun dari mimpi jebakan ini: membedakan antara apa yang sering muncul dan apa yang benar-benar nyata.