Gelombang bencana hidrometeorologi yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh dalam sepekan terakhir seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat dan daerah. Banjir bandang, longsor, serta cuaca ekstrem bukan lagi sekadar musibah alam, melainkan potret telanjang dari tata kelola risiko bencana yang belum berfungsi sebagaimana mestinya. Ironisnya, di tengah peningkatan intensitas bencana yang sudah diprediksi oleh berbagai lembaga klimatologi kesiapsiagaan negara justru tertinggal oleh laju perubahan iklim yang semakin agresif.
Di era krisis iklim, bencana hidrometeorologi bukan kejadian tiba-tiba. Curah hujan ekstrem, perubahan pola angin, dan anomali cuaca merupakan fenomena yang dapat dipantau melalui sistem peringatan dini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) secara rutin mengeluarkan peringatan potensi hujan lebat, banjir, maupun longsor.
Pertanyaannya mengapa peringatan dini ini tidak diterjemahkan menjadi langkah cepat di lapangan?
Di Sumatera Barat, banjir bandang lahar dingin yang pernah terjadi sebelumnya tidak menjadi pelajaran berharga untuk memperkuat mitigasi. Di Aceh, tanggul-tanggul di daerah rawan banjir luput dari perhatian meski telah berkali-kali jebol dalam beberapa tahun terakhir. Sementara di Sumatera Utara, longsor dan banjir terus berulang di kawasan dengan tingkat kerentanan tinggi.
Fakta ini memperlihatkan bahwa negara terlambat membaca tanda-tanda risiko. Sistem perencanaan masih berbasis after the fact, bukan preparedness. Pemerintah baru bergerak setelah bencana terjadi, bukan ketika risiko menguat. Dalam konteks tata kelola risiko modern, respons seperti ini adalah bentuk kegagalan.
Pembangunan yang Abai Terhadap Daya Dukung
Bencana ekologis di Sumut, Sumbar dan Aceh tak lepas dari kesalahan orientasi pembangunan. Ekspansi perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur di lereng-lereng rentan longsor menyebabkan daya dukung alam melemah. Deforestasi di sejumlah wilayah mempercepat aliran air permukaan, membuat banjir bandang menjadi semakin destruktif.
Pada titik ini, kita harus jujur bencana adalah akumulasi dari keputusan tata ruang yang keliru.
Berulang kali akademisi, aktivis lingkungan, dan lembaga penelitian memperingatkan tentang risiko adaptasi yang buruk. Namun regulasi tata ruang lebih sering tunduk pada investasi jangka pendek daripada keselamatan warga yang hidup di bawah ancaman bencana permanen.
Ketika negara membiarkan ruang hidup rusak, maka setiap curah hujan ekstrem akan menjadi ancaman. Bencana bukan ditakdirkan; ia diproduksi secara sosial-politik melalui kebijakan yang mengabaikan aspek ekologis.
Mitigasi Tidak Mengikuti Skala Ancaman
Indonesia memiliki Undang-Undang Penanggulangan Bencana dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai tulang punggung mitigasi. Namun di tingkat daerah, kapasitas BPBD masih lemah baik dari segi anggaran, SDM, maupun peralatan.
Di beberapa kabupaten terdampak, alat berat minim, peringatan dini tidak sampai ke warga, dan jalur evakuasi tidak pernah diuji. Dalam beberapa kasus, masyarakat baru mengetahui datangnya banjir ketika air tiba-tiba meluap ke permukiman.
Ketimpangan kapasitas antara pemerintah daerah dan besarnya risiko bencana mengakibatkan respons tidak cepat, distribusi bantuan lambat, dan proses evakuasi memakan waktu panjang. Padahal mitigasi hanya efektif ketika dilakukan bukan pada hari bencana, tetapi pada hari-hari sebelumnya.
Jika negara serius ingin menurunkan risiko bencana, maka pendekatannya harus berubah dari responsif menjadi anticipatory governance, yakni pemerintahan yang mengantisipasi ancaman melalui data, sains, dan perencanaan jangka panjang.

5 days ago
14







































