Mei 2025. Angin malam itu sedang jahat-jahatnya. Dingin, kering, dan menusuk sampai ke tulang sumsum. Tapi anehnya, dingin itu kalah telak sama semangat yang lagi meledak-ledak di dada kami berempat.
Malam itu, aku, Rafi, Fadil, dan Mas Fahim memutuskan melakukan hal yang bagi sebagian orang mungkin kurang kerjaan: meninggalkan kasur empuk demi menantang dinginnya Gunung Kawi lewat jalur resmi Precet, Wagir.
Start "Gas Tipis-Tipis" dari Rumah
Markas kami—rumahnya Rafi—sudah mulai riuh. Suara mesin motor dipanaskan bersahutan dengan gelak tawa kami. "Jaket aman? Sarung tangan? Jangan sampai ada yang jadi es batu di atas," canda Mas Fahim.
Sebelum benar-benar naik, kami mampir dulu ke minimarket. Ini ritual wajib. Kami berdiri di lorong mie instan, berdebat rasa apa yang paling enak dimakan di ketinggian. Akhirnya, beberapa bungkus mie kuah, cokelat, dan air mineral secukupnya masuk ke keranjang. Kelihatannya sepele, tapi di gunung nanti, mie ini nilainya lebih berharga daripada emas.
Sesampainya di Basecamp Precet, Wagir, suasana masih terasa hidup. Kami segera mengurus Simaksi di loket resmi dan memarkir motor. Ada hening sejenak saat merapikan tas. Detik-detik peralihan dari "anak kota" menjadi "anak rimba".
Masuk Hutan dan Segarnya Air Pos 1
Tepat tengah malam. Gerbang pendakian Precet berdiri gagah di depan mata.
Layaknya anak kecil yang baru nemu mainan baru, kami berempat berbaris. "Foto dulu, woy! Mumpung muka masih ganteng!" teriak Rafi. Cekrek! Foto itu merekam wajah-wajah kami yang sok berani, padahal dalam hati ngeri-ngeri sedap membayangkan gelapnya hutan pinus di depan.
Jalur awal ternyata ramah banget. Kami jalan santai membelah kebun kopi warga dan hutan pinus. Sekitar 40 menit, kami sampai di Pos 1.
Di sini, kami disambut suara gemericik air. Ternyata benar kata orang, jalur Precet ini istimewa karena ada sumber air. Kami sempat membasuh muka. "Gila, segernya air gunung malem-malem, langsung melek mata!" seru Fadil sambil mengisi ulang botolnya.
Perjalanan lanjut ke Pos 2, medannya mulai menanjak tapi masih "sopan". Di tengah jalan menuju Pos 2 ini, kami kembali menemukan aliran sumber air. Aman banget rasanya kalau naik gunung nggak perlu pusing mikirin air.
Api Unggun Penyelamat Waras di Pos 2
Sampai di Pos 2, dinginnya makin menjadi-jadi karena kami berhenti bergerak. "Break dulu, Mas. Nggak kuat dinginnya," pinta Fadil.
Kami mengumpulkan ranting kering di area camp dan menyalakan api unggun kecil. Saat api menyala, rasanya... Masyaallah. Hangatnya itu nggak cuma nempel di kulit, tapi masuk ke hati.
Kami duduk melingkar. Momen ini mahal banget. Bergantian ada yang curi-curi tidur sambil memeluk lutut, ada yang bengong ngeliatin bara api, ada juga yang standby menjaga barang. Di bawah atap langit yang gelap, kami sadar satu hal: kami cuma titik kecil di alam semesta ini.

2 weeks ago
12






































