Mendung menggantung di Langit Banyuwangi siang itu. Sementara udara dingin dari lereng Ijen turun menyelimuti Sekolah Rakyat Terpadu (SRT) 2 Banyuwangi. Bangunan yang dulunya Balai Diklat PNS kini beralih fungsi menjadi sekolah bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota, suasana sekolah terasa tenang dan asri, jauh dari hiruk pikuk jalanan. Dari kejauhan, suara anak-anak belajar bercampur dengan gemerisik dedaunan yang tertiup angin gunung.
Di sebuah kelas sederhana, empat murid duduk setengah melingkar. Mereka serius memperhatikan penjelasan Pak Sarjono, guru yang setiap Jum’at datang mengajar bimbingan agama Hindu. Di antara mereka ada Enik Susilowati (17), gadis asal Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore yang duduk rapi dengan seragam pramuka, Enik tampak tekun mendengar. Ia adalah satu dari sedikit siswa Hindu di sekolah yang mayoritas muridnya beragama Islam.
Sebelum di Sekolah Rakyat, hidup Enik penuh ujian sejak kecil. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Orang tuanya berpisah saat ia masih duduk di bangku SD. Hal itu membuatnya harus ikut sang ibu, Laminem, dan hidup menumpang di rumah nenek. Sang ibu bekerja serabutan sebagai buruh tani dan kadang mencari sayur pakis di hutan untuk menghidupi keluarga kecilnya. Penghasilan minim sering kali tak cukup untuk makan. Ada hari-hari ketika Enik hanya makan sekali sehari.
Sekolah Rakyat menjadi titik balik hidupnya. Dengan dukungan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) di desanya, ia bersedia didaftarkan meski awalnya diliputi rasa ragu.
“Rasanya aneh, enggak betah di sini. Tapi lama-lama kenal dengan teman dari luar, akhirnya betah juga,” katanya. Kini, Enik merasa bagian dari keluarga besar SRT 2 Banyuwangi.
“Kalau tidak ada sekolah ini, kemungkinan besar (saya) tidak bakalan lanjut sekolah, karena bantu ibu kerja dan tidak punya biaya buat nerusin sekolah,” kata Enik. Ia mengaku semua kakaknya hanya bisa melanjutkan sekolah sampai jenjang SMP.
Kehidupan di asrama membawa kebiasaan baru. Tidur bersama teman-teman membuatnya merasa lebih tenang.
“Kalau di rumah tidur sendirian, kasurnya juga keras. Di sini ada teman, kasurnya empuk,” ujarnya lantas tersenyum.
Pola makannya pun berubah. Dari sebelumnya tak teratur, kini ia selalu makan tiga kali sehari ditambah camilan.
“Tadi siang ada capcay, tempe, ikan, dapat snack juga. Enak sekali,” tambahnya dengan mata berbinar.
Yang paling berharga baginya adalah suasana toleransi yang hangat. Meski berbeda keyakinan, ia tidak pernah merasa dibeda-bedakan. Saat Hari Raya Saraswati (hari turunnya ilmu pengetahuan), ia difasilitasi untuk pulang dan dapat beribadah bersama keluarganya di Pura Giri Mulya yang berada di Desa Sugihwaras. Sehari-hari, ia juga tetap bisa menjalankan sembahyang tiga kali pada pagi, siang dan sore dengan nyaman, kadang di kelas, kadang di asrama. Teman-temannya bahkan sering mengingatkan dengan canda hangat,
“Kamu sudah sembahyang belum?” tutur Enik.
Bagi Enik, hal itu sangat berarti. Ia belajar agama Hindu dengan tenang, mengenal sloka, memahami permana, hingga meresapi kirtanam yang ia ibaratkan seperti zikir dalam Islam. Ia kerap melakukan kirtanam di kelas ketika teman-temannya salat duha, atau di asrama saat azan asar berkumandang. Semua berlangsung ...

9 hours ago
1







































