Sampai saat ini—bahkan setelah tiga dekade lahirnya gagasan pembangunan berkelanjutan—dunia masih terus bergulat dengan persoalan lama: kemiskinan, ketimpangan, dan krisis iklim. Laporan Sustainable Development 2025 yang dirilis PBB menunjukkan lebih dari 800 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem, miliaran tidak memiliki akses air bersih, dan tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah modern.
Di sisi lain, menurut data The Fossil Fuel Subsidy Tracker, negara-negara maju masih menggelontorkan subsidi energi fosil enam kali lipat lebih banyak daripada janji pendanaan iklim.
Hasilnya adalah paradoks pembangunan global yakni emisi karbon, ketimpangan pendapatan, dan utang publik terus melonjak, sedangkan keanekaragaman hayati justru merosot tajam. Artinya, pertumbuhan ekonomi selama ini dibayar dengan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial.
Tidak salah untuk mengatakan bahwa ada kesenjangan yang lebar antara retorika dan realitas yang mencerminkan hipokrisi global. Ada hipokrisi politik: kampanye pro-iklim, tetapi kebijakan yang dihasilkan justru memperparah kerusakan iklim. Ada hipokrisi gaya hidup: menggaungkan diri pro-lingkungan, tetapi hidup dengan memboroskan energi.
Tentu ada banyak pihak yang perlu bertanggung jawab, tetapi kiranya penting pula untuk memunculkan kembali pertanyaan: Bagaimana dunia pendidikan—khususnya perguruan tinggi—mempersiapkan generasi muda agar tidak ikut terus terjebak dalam lingkaran hipokrisi ini?
Hipokrisi dan Pendidikan Tinggi
Dunia akademik dapat juga mengalami dan mengamini hipokrisi iklim dan keberlanjutan, kendatipun sudah ada GreenMetric yang menilai universitas di seluruh dunia berdasarkan sejauh mana mereka mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Satu studi bertajuk Is Economics Education Fit for the 21st Century?—yang dilakukan kelompok Rethinking Economics (2024)—menemukan bahwa 75% universitas di Inggris gagal mengintegrasikan isu iklim ke dalam kurikulum ekonomi, 55% mengabaikan ketimpangan historis seperti kolonialisme, dan 88% modul teoretis masih dikuasai paradigma Neoklasik.
Jika kecenderungan ini direplikasi di Indonesia, lulusan pendidikan tinggi kita pun hanya akan fasih menghitung pertumbuhan ekonomi, tetapi gagap manakala berhadapan dengan krisis ekologi, ketidakadilan sosial, dan tantangan global yang bersifat sistemik. Padahal, yang terjadi saat ini bukan lagi sebatas perubahan iklim, tetapi sudah sampai pada krisis iklim.
Lantas, di sinilah menjadi krusial untuk kembali menegaskan bahwa perguruan tinggi adalah strategic locus untuk membentuk cara pandang generasi muda. Menggunakan studi di atas, setidaknya ada tiga tanggung jawab perguruan tinggi dalam era pembangungunan berkelanjutan.
Pertama, mengintegrasikan isu keberlanjuran ke dalam kurikulum inti. Artinya, isu iklim, energi, dan keadilan sosial harus menjadi bagian dari pembelajaran utama. Kedua, mendorong pluralisme intelektual, bahwa paradigma homo economicus—yang melihat manusia hanya sebagai makluk rasional dan egois—harus diimbangi dengan pendekatan alternatif seperti homo sustinens, yang menekankan kepedulian, solidaritas, dan keberlanjutan. Ketiga, menjadi teladan praksis di mana universitas tidak cukup hanya mengajar tentang keberlanjutan, tetapi juga harus mempraktikkannya sebagai bentuk nyata pendidikan berbasis teladan.
Indonesia memiliki ribuan universitas, bahkan merupakan salah satu sistem pendidikan tinggi terbesar di dunia. Ini adalah potensi yang luar biasa karena jutaan mahasiswa yang dididik hari ini adalah pemimpin dan pelaku masa depan bangsa. Tentu tantangannya juga tidak kecil, terutama di tengah jebakan orientasi akreditasi formal, publikasi internasional, ataupun ranking global. Jebatan-jebakan ini dapat membuat perguruan tinggi luput untuk memastikan bahwa lulusan mereka siap menghadapi tantangan keberlanjutan. Lebih ironis lagi, jargon Read Entire Article