Kalau logistik pemilu sampai harus diantar pakai jet pribadi, mungkin yang diangkut bukan surat suara—tapi rasa malu.
Publik terkejut ketika kabar beredar: Ketua dan anggota KPU menggunakan jet pribadi dalam kegiatan dinas. Alasannya terdengar resmi—“untuk mendukung distribusi logistik pemilu.” Tapi rakyat keburu heran: logistik yang mana? Surat suara, atau gaya hidup?
Antara Etika dan Euforia Kekuasaan
Kasus ini sempat disidangkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hasilnya: Ketua dan anggota KPU dinyatakan melanggar kode etik, dan dijatuhi sanksi peringatan keras.
Namun seperti biasa, sanksinya keras di kertas, tapi lembut di rasa. DKPP memang hanya berwenang di ranah etik—bukan di ranah hukum.
Mereka menegur perilaku, bukan memeriksa rekening. Tapi persoalan ini jelas tak bisa berhenti di meja etika. Karena kalau anggaran negara bisa “terbang” atas nama logistik, maka publik berhak bertanya: di mana hukum bekerja?
Demokrasi Mahal, Tapi Jangan Sampai Mewah
Kita paham pemilu memang rumit dan mahal. Tapi mahal bukan berarti boleh mewah. Kalau rakyat di pelosok masih gotong royong membangun TPS dari terpal, sementara pejabat penyelenggara bisa terbang dengan jet pribadi, itu bukan logistik, itu kontradiksi.
Ironinya, setiap kali rakyat mengeluh soal ongkos demokrasi, jawabannya selalu sama: “demokrasi memang tidak murah.” Namun siapa sangka, ternyata yang paling mahal justru gaya hidup penyelenggaranya.
DKPP Sudah Tegur, Sekarang Giliran Hukum
Putusan DKPP seharusnya bukan akhir cerita, tapi pintu masuk bagi aparat hukum. Jika dalam penggunaan anggaran terdapat indikasi penyalahgunaan, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian tak perlu menunggu undangan resmi untuk bergerak.
Etika dan hukum itu ibarat dua kaki demokrasi. Kalau satu diam, negara berjalan pincang. Dan rakyat—seperti biasa—yang harus menopang beban kepercayaannya.
Logistik atau Legitimasi?
Kata “logistik” seolah jadi mantra suci yang bisa membenarkan apa saja. Padahal di baliknya, bisa saja terselip pembenaran atas gaya hidup elitis yang dibungkus kepentingan negara.
Publik tentu tidak anti pada fasilitas dinas—tapi logika sederhana harus tetap dijaga: logistik untuk rakyat, bukan jet untuk pejabat. Karena jika logistik berubah jadi simbol status, maka pemilu berubah dari pesta rakyat menjadi pesta langit—di mana suara rakyat hanya jadi gema di bawah awan.
Saat Hukum Jadi Penumpang
Masalahnya, di negeri ini hukum sering datang belakangan. Ia seperti penumpang yang ketinggalan pesawat. Etika sudah terbang lebih dulu, sementara hukum masih sibuk mencari tiket koordinasi antar lembaga.
Polisi menunggu bukti formil, Jaksa menunggu hasil audit, KPK menunggu momentum politik. Akhirnya, publik menunggu keadilan yang tak kunjung mendarat....

13 hours ago
1







































