Indonesia tengah bersemangat menyambut “Bonus Demografi”, fenomena ketika proporsi penduduk usia produktif mencapai puncaknya. Pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan memandang ini sebagai peluang emas menuju visi Indonesia Emas 2045: negara maju, adil, dan sejahtera. Namun, di balik gegap gempita optimisme itu, ada satu kelompok yang nyaris tak terdengar: jutaan warga lanjut usia (lansia) yang hidup dalam ketidakpastian dan keterpinggiran.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2024, proporsi lansia di Indonesia telah mencapai 12 persen, dengan rasio ketergantungan sebesar 17,08 persen. Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memproyeksikan bahwa pada 2045, jumlah lansia bisa mencapai hampir 60 juta jiwa, hampir 20 persen dari total populasi (ANTARA News, 2022). Ini menandai transisi cepat menuju masyarakat menua, jauh lebih cepat dari prediksi sebelumnya.
Ironisnya, di tengah fokus nasional pada produktivitas angkatan kerja muda, kepentingan lansia sering kali terabaikan. Riset The SMERU Research Institute & Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) (2022) mengungkap bahwa hanya sekitar 12 persen lansia yang mendapat program pensiun formal. Sebagian besar lansia hidup tanpa jaminan pendapatan di hari tua, bergantung pada keluarga atau bekerja di sektor informal.
Akibatnya, banyak yang rentan jatuh ke dalam kemiskinan dan kehilangan kemandirian. Ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan cerminan dari paradigma negara yang memandang warga negara berdasarkan kontribusi ekonomi mereka, ketika produktivitas habis, perhatian pun hilang.
Paradigma yang Harus Diubah
Selama ini, kebutuhan lansia seperti perawatan jangka panjang dan layanan geriatri dianggap sebagai beban fiskal, bukan investasi sosial. Peran merawat lansia pun nyaris dibebankan seluruhnya kepada keluarga. Studi Putri et al. (2022) dari menyoroti beban berat yang ditanggung oleh perawat keluarga, khususnya perempuan, yang kerap mengorbankan karier dan kesejahteraan pribadi. Fenomena “generasi sandwich”, mereka yang harus merawat orang tua sekaligus anak, menjadi bukti bahwa sistem perlindungan sosial kita belum siap menghadapi realitas demografi baru.
Sosiolog Esping-Andersen (1990) menyebut kondisi ini sebagai “komodifikasi” kehidupan sosial, di mana nilai seseorang diukur dari kemampuannya berpartisipasi di pasar tenaga kerja. Ia menegaskan pentingnya “dekomodifikasi”, yakni kemampuan warga untuk hidup layak tanpa bergantung penuh pada pasar. Bagi lansia, ini berarti jaminan martabat dan kesejahteraan sebagai hak fundamental, bukan sekadar belas kasihan atau ketergantungan pada keluarga.
Belajar dari Dunia Maju: Lansia sebagai Pilar Peradaban
Negara-negara maju telah membuktikan bahwa kesejahteraan lansia bukanlah beban, melainkan pilihan ideologis yang terencana. Swedia, misalnya, menjamin pensiun layak dan layanan perawatan berkualitas yang dibiayai pajak secara universalis (OECD, 2023). Jepang dan Jerman mengimplementasikan asuransi perawatan jangka panjang yang didanai dari iuran wajib seluruh angkatan kerja sebagai bentuk solidaritas lintas generasi (Iwagami & Tamiya, 2019; Rothgang, 2010).
Prinsip ini sejalan dengan pemikiran filsuf John Rawls (1999) yang menyatakan bahwa masyarakat yang adil adalah yang melindungi kelompok paling rentan berdasarkan “posisi asal”, tanpa mengetahui posisi keberadaan kita dalam masyarakat (veil of ignorance). Dalam kerangka ini, perlindungan lansia bukanlah kemewahan, melainkan fondasi keadilan sosial.
Menuju Kontrak Sosial Baru: Empat Langkah Konkret
Pertama, pemerintah perlu membangun akuntabilitas data yang mengikat. Penyusunan Laporan Nasional Tahunan Kondisi Lansia harus menjadi kewajiban negara, bukan sekadar inisiatif sektoral. Laporan ini harus mencakup indikator penting seperti angka harapan hidup sehat, prevalensi penyakit degeneratif, tingkat kemiskinan lansia, serta rasio tenaga perawat geriatri.
Data semacam ini bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga fondasi bagi kebijakan yang presisi dan berkeadilan. Dengan pelaporan rutin ke DPR, isu lansia akan tetap berada di pusat perhatian politik dan anggaran, bukan tersisih oleh agenda pembangunan yang lebih populer.
Kedua, pendanaan perlindungan lansia harus dibangun di atas prinsip gotong royong yang berkelanjutan. Negara perlu mendirikan Dana Perawatan Jangka Panjang yang bersumber dari tiga pilar fiskal: iuran progresif pekerja formal yang terintegrasi dengan BPJS Ketenagakerjaan, alokasi keuntungan Dana Abadi Pemerintah sebagai bentuk investasi sosial, serta pajak khusus pada produk berisiko seperti rokok dan minuman berpemanis.
Pendekatan ini bukan sekadar mencari sumber dana, tetapi menciptakan mekanisme solidaritas lintas generasi yang menjamin keberlanjutan sistem. Pengalaman negara seperti Thailand menunjukkan bahwa sin tax (pajak khsusus) dapat menjadi instrumen efektif untuk mendanai promosi kesehatan dan perlindungan kelompok rentan (Tangcharoensathien et al., 2024).