Pernahkah Anda merasa sedikit "terancam" ketika ChatGPT bisa menulis email lebih baik dari Anda? Atau, Anda justru merasa terbantu karena pekerjaan lebih cepat selesai? Selamat datang di tahun 2025 di mana Artificial Intelligence (AI) bukan lagi sekadar mimpi sci-fi, melainkan realitas yang mengundang perdebatan sengit.
Di satu sisi, AI dipuji sebagai revolusi yang membebaskan manusia dari pekerjaan monoton. Di sisi lain, AI dikritik sebagai ancaman yang akan menggantikan peran manusia secara masif. Pernyataan manakah yang benar? Atau mungkin, keduanya benar?
Para pendukung AI punya argumen kuat. Sejarah teknologi menunjukkan pola yang konsisten: setiap revolusi teknologi memang menghilangkan pekerjaan lama, tetapi menciptakan peluang baru yang tak pernah dibayangkan.
Ketika mesin cetak ditemukan, para penyalin naskah kehilangan pekerjaan. Namun, industri penerbitan lahir dan menyerap jutaan pekerja baru. Ketika komputer hadir, banyak pekerjaan administratif lenyap. Namun, lahir industri IT yang kini mempekerjakan ratusan juta orang worldwide.
"AI akan membebaskan kita dari tugas-tugas repetitif sehingga bisa fokus pada hal-hal yang lebih kreatif dan bermakna," ujar Dr. Fei-Fei Li, salah satu pionir AI dari Stanford. Pandangan ini didukung data: sektor teknologi, yang paling intensif menggunakan AI, justru menciptakan lapangan kerja dengan pertumbuhan tercepat.
Dalam dunia medis, AI membantu dokter mendiagnosis kanker dengan akurasi 99%, sebuah tingkat akurasi yang jauh melampaui kemampuan manusia. Di bidang pendidikan, AI memungkinkan pembelajaran yang dipersonalisasi untuk setiap siswa. Bahkan dalam industri kreatif, musisi menggunakan AI untuk mengeksplorasi komposisi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Namun, kekhawatiran terhadap AI juga bukan tanpa dasar. Riset McKinsey Global Institute menunjukkan antara 75 juta hingga 375 juta pekerja di seluruh dunia perlu mengubah kategori pekerjaan mereka pada 2030 karena otomasi. Angka ini bukan main-main.
"Kali ini berbeda. AI tidak hanya menggantikan otot, tetapi juga otak. Bahkan pekerjaan yang selama ini dianggap 'aman' seperti analisis data, penulisan, dan desain kini bisa dilakukan mesin," kata ekonom MIT Erik Brynjolfsson.
Fenomena virtual influencer seperti Lil Miquela dan Rozy menambah kompleksitas perdebatan. Mereka memiliki jutaan followers dan kontrak merek jutaan dolar tanpa pernah lelah atau menuntut kenaikan gaji. Industri hiburan mulai bertanya: Masih perlukah aktor dan model manusia?
Di sektor manufaktur, pabrik-pabrik otomotif sudah menggantikan ribuan pekerja dengan robot. Di sektor keuangan, algoritma trading menggantikan trader berpengalaman. Di media, AI sudah bisa menulis berita olahraga dan laporan keuangan dengan kecepatan dan akurasi yang tinggi.
Yang terjadi di lapangan ternyata lebih bernuansa. Sebagai contoh radiologi di mana pada awalnya diprediksi AI akan menggantikan radiolog sepenuhnya. Nyatanya, radiolog yang menggunakan AI justru menjadi lebih akurat dan efisien. Mereka tidak digantikan, tapi berevolusi menjadi "radiolog plus AI".
Hal serupa terjadi di berbagai profesi. Profesi customer service tidak sepenuhnya digantikan chatbot, tetapi bergeser ke penanganan kasus kompleks yang membutuhkan empati manusia. Akuntan tidak digantikan software, tetapi fokus bergeser dari input data ke analisis strategis.