
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan pentingnya peran industri hasil tembakau (IHT) dalam mendukung perekonomian nasional. Ekosistem pertembakauan di Indonesia bahkan telah terbentuk sejak era kolonial Belanda, mencakup petani tembakau dan cengkeh, perajang, buruh pabrik rokok, pedagang, ritel, distributor, hingga eksportir.
“Dengan terbentuknya ekosistem yang kuat, struktur industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia juga sudah terintegrasi. Bahkan, hingga saat ini, jutaan orang menggantungkan hidupnya dari sektor IHT,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika dalam keterangan resminya, Rabu (4/6).
Menurut Putu, kuatnya struktur IHT didukung oleh keberadaan berbagai sektor penunjang di dalam negeri. Di antaranya adalah industri pengeringan tembakau, kertas dan filter rokok, bumbu/perisa, sigaret kretek tangan dan mesin, rokok putih, cerutu, hingga laboratorium skala internasional dan jasa pengemasan serta percetakan.
“Oleh karena itu, sektor IHT memegang peranan penting dalam perekonomian nasional,” ujar Putu.

Ia menyebutkan, kontribusi sektor ini terhadap penerimaan negara sangat signifikan. Khususnya melalui cukai hasil tembakau yang mencapai Rp 216 triliun pada tahun 2024.
“Selain itu, sektor IHT menyerap tenaga kerja sebanyak 6 juta orang dari hulu hingga hilir, mulai dari petani tembakau dan cengkeh, buruh pabrik, distributor, hingga pedagang dan eksportir,” imbuhnya.
Tak hanya dalam negeri, kontribusi IHT juga terasa dalam sektor perdagangan internasional. Pada 2024, ekspor produk hasil tembakau Indonesia mencapai USD 1,7 miliar—tumbuh 21,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan capaian itu, Indonesia menempati posisi keenam sebagai negara eksportir hasil tembakau terbesar di dunia.
“Keberhasilan ini tidak terlepas dari kualitas produk yang berdaya saing tinggi serta kerja keras seluruh pelaku usaha tembakau nasional,” jelas Putu.
Namun di tengah pencapaian tersebut, IHT juga menghadapi tantangan besar, salah satunya adalah peredaran rokok ilegal yang terus meningkat. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa rokok ilegal naik dari 3,3 persen pada 2019 menjadi 6,9 persen pada 2023.
“Pemerintah menekankan pentingnya pembinaan dan pengawasan terhadap seluruh pelaku usaha agar menjalankan kegiatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegas Putu.
Untuk memperkuat sektor IHT, Kemenperin turut menyoroti pentingnya pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) oleh pemerintah daerah. “Dari 3 persen DBHCHT yang dibagikan kepada daerah, terdapat program pembinaan industri yang dapat dimanfaatkan mulai dari peningkatan kualitas SDM IHT, fasilitasi uji nikotin dan tar, hingga dukungan ekspor,” terangnya.
Putu juga mendorong sinergi antara pemerintah daerah dan asosiasi industri dalam menyusun program pembinaan yang tepat sasaran. Hal itu ia sampaikan saat membuka Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau Indonesia (DPP P2RPTI) di Blitar, Jawa Timur pada Minggu (1/6).
“Melalui munaslub ini, semoga dapat menghasilkan rencana strategis, penguatan daya saing, inovasi, dan digitalisasi sektor IHT sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan industri nasional,” ungkapnya.