Di tengah dinamika perekonomian global, Temasek Holdings Singapura hadir sebagai salah satu lembaga investasi paling tangguh di dunia. Sejak berdirinya di tahun 1974, Temasek Holdings berkembang sebagai investor global dengan portofolio yang tersebar luas di berbagai sektor internasional.
Terhitung sejak 31 Maret 2025, Temasek telah memiliki portofolio sebesar 434 milliar dolar. Lembaga investasi ini bertugas untuk mengambil alih kepemilikan dan pengelolaan aset-aset milik negara dari Menteri Keuangan. Tujuan dari pembentukannya adalah untuk memisahkan peran pemerintah sebagai pembuat aturan dan kebijakan dari perannya sebagai pemilik perusahaan.
Sementara itu, baru-baru ini Indonesia membuat Sovereign Wealth Fund (SWF) yang dinamakan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai Danantara Indonesia. Menteri BUMN, Erick Thohir mengatakan bahwa Danantara dibentuk secara resmi untuk mengkonsolidasikan pengelolaan BUMN dan mengoptimalkan pengelolaan dividen serta investasi.
Dilansir juga dari Bloomberg, pengesahan Undang-Undang tentang pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) akan memberikan kewenangan terhadap aset negara, termasuk menyetujui penambahan modal; restrukturisasi perusahaan melalui merger, akuisisi, dan spin off; serta membentuk holding investasi baru setelah berkonsultasi dengan parlemen. Harapannya, Danantara dapat mengikuti langkah keberhasilan dari Sovereign Wealth Fund Singapura yaitu Temasek Holdings. Namun, pertanyaannya: Apa yang perlu Danantara Indonesia pelajari dari keberhasilan Temasek?
Diplomasi Investasi: Bangun Jaringan Penasihat Global
Salah satu mekanisme yang perlu dipelajari oleh Danantara Indonesia dalam mengelola hubungan luar negeri adalah dengan membentuk jaringan penasihat global (Global Advisory Network). Dalam hal ini, Temasek membentuk jaringan dengan melibatkan berbagai pemimpin industri, pembuat kebijakan, dan pemikir terkemuka. Jaringan yang dibentuknya disebut sebagai panel-panel dalam ruang lingkup regional maupun internasional.
Berbagai panel ini ditujukan sebagai penghubung dan memfasilitasi kolaborasi yang lebih erat dengan para pemimpin dan pemangku kepentingan bisnis. Sehingga, diharapkan dapat memberikan informasi intelijen terkait dengan finansial dan non-finansial yang memungkinkan Temasek bisa menyesuaikan strategi portofolio investasinya yang sesuai dengan keadaan dunia saat ini.
Hal ini dapat ditiru oleh Danantara Indonesia agar bisa memperluas jaringan nya ke seluruh penjuru dunia dengan melibatkan berbagai tenaga ahli seperti analis kebijakan, pebisnis, dan para pemikir. Sehingga, Danantara Indonesia dapat memanfaatkannya sebagai sumber informasi yang ke depannya digunakan untuk memastikan profil risiko dalam investasinya di berbagai sektor dan juga membuka peluang kemitraan strategis dengan berbagai aktor di seluruh dunia.
Strategi Komunikasi dan Diplomasi Publik Proaktif
Keberhasilan Temasek sebagai lembaga investasi tertangguh di dunia, tentunya tidak luput dari kesalahan. Kejadian tahun 2006, merupakan contoh klasik dari kesalahan Temasek yang tidak memperhatikan aspek non-finansial. Akuisisi yang dilakukan Temasek atas Shin Corporation di Thailand di tahun tersebut berujung kontroversial. Kehadirannya di Thailand justru menimbulkan gejolak politik, protes jalanan, dan tuduhan terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra sebagai “penjual aset negara” kepada entitas asing. Walaupun secara hukum dinyatakan sah, tetapi akuisisi yang dilakukan Temasek gagal karena adanya sentimen publik dan sensitivitas yang kuat terhadap kepemilikan aset strategis oleh asing.
Dari studi kasus di atas, Danantara Indonesia dapat mengambil suatu pelajaran bahwa risiko non-finansial kadang kala menjadi penentu keberhasilan dari suatu investasi. Dalam hal ini, Danantara Indonesia dapat melakukan pembangunan kapasitas dan kemanusiaan di negara-negara tempat berinvestasi. Program tersebut diharapkan dapat membentuk citra Danantara Indonesia sebagai mitra pembangunan jangka panjang yang bukan sekadar mencari keuntungan di tempat tersebut.