Langit selalu bergetar setiap kali Malvin membuka matanya. Sejak bayi, ia lahir dengan cahaya di bola matanya, cahaya putih yang tak semestinya dimiliki manusia. Saat ia pertama kali menangis, ruangan tempat kelahirannya memanas, lampu minyak padam, dan udara bergetar seperti petir tanpa suara.
“Matanya… matanya bersinar!” teriak bidan ketakutan.
Ayahnya segera menutup mata bayi itu dengan kain hitam dan menunduk dalam doa.
“Dia bukan kutukan,” bisik sang ibu. “Dia hadiah.”
Namun di luar sana, dunia berpikir sebaliknya.
Saat itu, kerajaan Aerwyn sedang dilanda ketakutan. Retakan kecil pertama sudah muncul di langit utara, dan orang-orang mulai melihat cahaya aneh turun dari langit malam. Gereja kerajaan menyebarkan perintah: “Siapa pun anak yang lahir dengan mata bercahaya, adalah tanda murka para dewa.”
Mereka harus diserahkan, atau dibakar.
Keluarga kecil itu melarikan diri dari kota, hidup bersembunyi di hutan-hutan dingin. Malvin tumbuh dalam gelap, matanya selalu tertutup kain hitam, agar tidak ada yang tahu siapa dia. Ia belajar berjalan, berlari, bahkan menenun tanpa membuka mata.
Namun meski tertutup, matanya tetap melihat. Ia melihat dunia lewat energi, bayangan kehidupan, warna panas dari napas manusia, dan cahaya halus dari dedaunan yang tumbuh. Ia bisa merasakan setiap gerakan, setiap getaran. Dunia bagi Malvin tidak gelap, hanya berbeda.
Tahun-tahun berlalu. Keluarganya berpindah-pindah, selalu diburu oleh biarawan kerajaan yang mencari “anak bermata langit.” Suatu malam, ketika Malvin berumur sembilan tahun, para biarawan itu menemukan mereka. “Buka matanya!” teriak pemimpin mereka. “Kita harus memastikan!”
Ayah Malvin berdiri di depan pintu, menghalangi mereka. “Anakku buta. Dia bukan yang kalian cari!”. Tapi salah satu biarawan mendorong masuk. Mereka menyeret ibunya keluar, menarik kain di kepala Malvin. Cahaya kecil bocor dari sela matanya sehingga cukup untuk membuat seisi ruangan bergetar. Biarawan-biarawan itu menjerit. “Dia anak langit! Bakar dia!”
Ayahnya menebas satu dari mereka dengan parang kayu, sementara ibunya berteriak memeluk Malvin. “Tutup matamu, Nak! Jangan buka, apa pun yang terjadi!”. Mereka berlari ke luar rumah, bersembunyi di hutan basah. Tapi para biarawan membawa obor, mengejar tanpa henti. Akhirnya, di tepi sungai, mereka terpojok. Ayahnya bertarung sampai jatuh, tubuhnya terbakar oleh obor suci. Ibunya menutup Malvin dengan jubahnya, sambil berbisik di telinganya: “Kau bukan kutukan. Kau adalah cahaya terakhir manusia. Lindungi dunia, Malvin… bahkan jika dunia takkan melindungimu.” Ia mencium kening anaknya, lalu mendorongnya ke dalam sungai, agar arus membawanya menjauh.
Saat Malvin mengambang di antara arus air yang dingin, ia mendengar jeritan ibunya, jeritan yang terbakar di ingatannya seumur hidup. Keesokan paginya, ia ditemukan oleh bibinya, Liora, yang tinggal di pinggiran Aerwyn. Sejak itu, ia hidup bersama Liora dan sepupu laki-lakinya, Arlen, bocah ceria berumur lima tahun.
Bagi mereka, Malvin hanyalah keponakan buta yang baik hati. Mereka tak tahu bahwa matanya, meski tertutup, bisa melihat jauh lebih banyak dari siapa pun. Ia bisa merasakan panas tubuh mereka, kehangatan dapur, bahkan pola jantung yang berdebar. Kadang, di malam hari, ketika Liora dan Arlen tidur, Malvin membuka sedikit kain hitam di matanya dan menatap bintang. Dan setiap kali, bintang-bintang itu berdenyut seolah menjawab tatapannya.
Suatu malam, langit berubah aneh. Angin berhenti. Burung tidak berkicau. Malvin merasa dunia seperti menahan napas. “Bibi…” katanya perlahan, “sesuatu akan datang.” Liora berhenti menenun. “Kau selalu bilang begitu ketika badai tiba.” “Tidak kali ini,” jawabnya lirih. “Ini bukan badai.”
Langit benar-benar pecah. Retakan emas membentang dari ujung ke ujung cakrawala, menyala seperti luka di tubuh langit. Dari dalamnya, mata raksasa terbuka yang terlihat dingin, tanpa emosi. Makhluk-makhluk bersayap turun, membawa cahaya di tangan mereka. Orang-orang berseru memanggil nama dewa, namun cahaya yang turun bukan berkat. Itu api.
Bangunan meledak, tanah bergetar. Liora menarik Arlen dan Malvin berlari. “Ke belakang rumah!” teriaknya. “Cepat!”. Mereka berlari di antara kobaran api. Malvin menutup matanya rapat-rapat, tapi tetap bisa “melihat”, ada bentuk cahaya aneh dari makhluk langit yang berterbangan, energi mereka panas dan kasar.
Kemudian, dari langit, cahaya emas turun yang menghantam tanah tempat Liora dan Arlen berdiri. Malvin hanya semp...

18 hours ago
6






































