Tanah hitam di sisi kuburan itu masih tampak lembap meski hujan terakhir sudah lewat seminggu. Rumput-rumput liar melilit nisan batu yang belum sepenuhnya kering dari semen baru. Aroma tanah basah bercampur dengan amis daging busuk menguar samar.
Seekor anjing kurus terbujur kaku di samping gundukan tanah. Bulu cokelat keemasannya sudah mulai rontok, matanya terpejam seakan sedang tidur. Tak ada tanda gigitan liar lain, hanya tubuh yang kurus, lunglai, dan perut kosong. Orang-orang yang lewat di pemakaman sontak kaget, tetapi banyak yang berbisik singkat “mungkin sudah mati tiga hari yang lalu."
Namun, tidak ada yang tahu bagaimana anjing itu bisa berakhir di sana.
Di sebuah penampungan hewan di pinggir kota, suara gonggongan mendominasi dalam ruangan tersebut. Bau karat dari jeruji bercampur dengan makanan kaleng basi memenuhi ruangan. Lampu redup menggantung di langit-langit, berayun setiap kali angin masuk dari celah dinding. Ruangan itu lebih mirip gudang yang terlupakan daripada tempat penampungan.
Di salah satu ruangan, hiduplah seekor anjing golden retriever betina muda dengan mata sayu dan kepala menunduk seakan kehilangan harapan untuk hidup. Di saat anjing lain menyambut orang datang dengan tubuh yang berputar-putar dan ekor bergoyang, ia memilih untuk memojokkan diri ke ujung tembok di balik jeruji itu. Ia belum punya nama, di buku catatan hanya tertulis “Betina, 1 tahun, sehat.”
Suatu hari datang seorang pria. Wajahnya dingin, kacamata hitam menutupi matanya. Ia mulai berjalan mengelilingi ruangan sambil melihat isi hewan dari balik jeruji itu.
“Sudah pasti aku yang terpilih. Aku ini cantik, sehat, dan bugar banget,” ucap seekor anjing pudel di ruangan tersebut.
“Ya iyalah, kamu pasti jadi incaran manusia buat diadopsi. Beda banget sama dia. Bulunya rontok, matanya sayu, dan kakinya aja pincang. Siapa sih yang mau adopsi anjing kayak gitu?” sindir seekor anjing chihuahua tajam sambil melirik si anjing golden retriever yang sedang menunduk di pojok jerujinya.
Anjing golden retriever itu tidak menanggapi, karena ia tahu bahwa itu kenyataannya. Dia menyadari bahwa tidak ada satu pun orang yang ingin mengadopsinya dengan kondisi tubuhnya yang seperti itu.
Namun, tanpa banyak bicara ia menunjuk anjing betina itu.
“Aku mau anjing itu,” ucapnya.
Anjing pudel dan chihuahua kaget dan tidak menyangka dengan pilihan pria itu. Anjing golden retriever juga tidak terlepas dari rasa kaget. Namun, ia bahagia dan bersyukur karena akhirnya ada seseorang yang ingin mengadopsinya.
Relawan menyerahkan tanpa ada rasa curiga bahkan mengira ia calon majikan yang sangat penyayang.
Namun, tempat barunya bukanlah “rumah” seperti yang dibayangkannya. Ruangan itu memiliki dinding yang lembap, catnya mengelupas, dan aroma tajam obat kimia menusuk hidung. Udaranya dingin, tapi bukan dingin yang menenangkan, melainkan dingin yang mencekik pernafasan, mencengkeram kulit, seolah setiap embusannya membawa ancaman.
Meja-meja baja berjajar rapi seperti barisan tak berperasaan, penuh dengan tabung kaca berisi cairan keruh dan alat-alat logam yang berkilau di bawah cahaya lampu neon pucat.
Anjing itu menggeram. Suara langkah sepatu pria itu menggema, tegas dan datar.
“Diamlah. Kalau berontak, nanti semakin sakit,” gumam pria itu tanpa menatap, suaranya dingin seperti besi di tangannya.
Ia tak paham dengan maksud perkataan pria itu, tetapi nada suaranya membuat bulu ditengkuknya berdiri. Jarum menembus kulitnya rasa panas menyebar dari titik suntikan, menjalar ke dada, lalu ke kepala. Pandangannya berputar, telinganya berdengung. Ia menggonggong pelan, lebih sebagai keluhan daripada keberanian.

19 hours ago
7






































