“Ah, perempuan kan ujung-ujungnya kembali ke dapur juga.” Kalimat yang awalnya terdengar seperti candaan dalam obrolan keluarga itu mendadak membuat suasana canggung. Ada yang tertawa kecil, ada yang memilih diam, dan ada pula yang tampak tak nyaman tapi tak berani menentang.
Di dunia digital, ada fenomena serupa. Komentar bernada merendahkan langsung mengalir ketika perempuan yang sukses menunjukkan kemampuan mereka atau mengambil peran penting. Seolah-olah perempuan selalu harus diragukan, diuji, dan dibandingkan dengan laki-laki. Selama bertahun-tahun, perjuangan untuk kesetaraan gender masih harus berhadapan dengan fakta bahwa stereotip dan bias lama masih ada dalam pembicaraan sehari-hari.
Teori gender sebagai konstruksi sosial dapat membantu menjelaskan ketidaksamaan ini dalam sosiologi. Ann Oakley, seorang sosiolog feminis, berpendapat bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak terutama bergantung pada kemampuan biologis mereka, tetapi lebih pada proses sosial yang menentukan apa yang "seharusnya" dilakukan oleh masing-masing gender. Masalahnya adalah ketika konstruksi gender yang bias ini menjadi kuat, ia dianggap sebagai kebenaran absolut daripada norma sosial.
Seringkali, orang menghakimi perempuan berdasarkan jenis kelaminnya, bukan pekerjaannya. Tempat publik yang seharusnya digunakan untuk menilai ide dan kemampuan berubah menjadi tempat untuk mempertahankan stereotip. Dalam situasi di mana gender diprioritaskan daripada kualitas, kesetaraan akhirnya hilang selama tahap wacana.
Untuk mencapai kesetaraan gender, tidak hanya diperlukan slogan dan peringatan Hari Perempuan. Ia juga membutuhkan perubahan perspektif, penghapusan stereotip, dan pemahaman bahwa nilai seseorang tidak didasarkan pada jenis kelaminnya. Kesetaraan gender akan tetap menjadi harapan ideal yang belum sepenuhnya menjadi kenyataan selama bias yang ada dalam masyarakat terus berlanjut.
Sebagai mahasiswa, saya telah menyaksikan secara langsung bagaimana bias gender terus-menerus hadir dalam lingkungan yang dianggap egaliter. Dalam kerja kelompok, saya pernah diabaikan karena dianggap "terlalu emosional" untuk dibahas. Meskipun demikian, rekan laki-laki yang mengatakan hal yang sama juga dipuji karena kritis. Dari pengalaman saya, saya belajar bahwa mencapai kesetaraan gender tidak hanya memerlukan peraturan atau kampanye besar, tetapi juga keberanian untuk menantang stereotip dalam kehidupan sehari-hari dengan tegas, tenang, dan tetap menghargai orang lain.
Menutup celah, bukan menambah jarak. Bukan masalah kemenangan atau ketidaksetaraan gender. Tujuan utamanya adalah memberi ruang bagi semua orang untuk berkembang tanpa dibatasi oleh label gender, karena perbedaan pengalaman antara laki-laki dan perempuan seharusnya menjadi alasan untuk berbagi empati dan solidaritas, bukan untuk menjatuhkan satu sama lain.
Apakah kita akan menggunakannya sebagai alasan untuk membatasi atau justru sebagai dasar untuk memahami satu sama lain? Menurut pendapat saya, jika kita terus membiarkan stereotip menguasai pemahaman kita tentang orang lain, kita tidak akan dapat membangun masyarakat yang lebih baik.

6 days ago
21







































