Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, menyebut budaya politik kerajaan masih melekat dengan kehidupan masyarakat hingga saat ini. Padahal, secara formal, pemerintahan Indonesia berbentuk republik.
Hal ini disampaikan Jimly saat menjadi pembicara dalam acara Dialog Nasional Refleksi Kelembagaan Komisi Yudisial di Gedung KY, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).
Jimly awalnya bercerita tentang sejarah BPUPKI ketika menggelar sidang penentuan bentuk pemerintahan Indonesia. Saat itu, dilakukan pemungutan suara untuk menentukannya.
"Undang-Undang Dasar itu ndak ada yang pakai voting itu, ndak ada. Tetapi ketika kita mau merumuskan apakah bentuk negara kita republik atau bukan, itu terpaksa voting," ujar Jimly.
"Kenapa mesti divoting? Ya karena ada 9 orang yang ngotot tidak mau. Maka waktu divoting yang memilih republik jumlahnya 55, yang minta supaya kita ini kerajaan, yang ngotot itu tadi 9 orang. Waktu voting jadi 6 orang yang minta kerajaan itu," sambungnya.
Menurut Jimly, akan beda cerita jika penentuan bentuk pemerintahan Indonesia tak dilakukan dalam forum kecil. Melainkan, dibuat sebuah referendum.
Sebab, Jimly menilai, kebanyakan masyarakat Indonesia sebetulnya tidak paham dengan bentuk pemerintahan republik.
"Karena orang-orang kampung kita dari Sabang sampai Merauke enggak tahu apa itu republik. Bahasa apa itu kan? Tapi kalau dibilang kesultanan, ah tahu semua," ungkap dia.
Jimly mengungkapkan, budaya politik ini yang kemudian terbawa hingga saat ini. Meski pemerintahan Indonesia telah diputus berbentuk republik.
"Jadi budaya politik kita ini, kesadaran kognitif mayoritas rakyat kita ini kerajaan. Bentuk formalnya kita ini republik. Itu kan pilihan enlighten leaders, orang-orang terdidik. Tapi budaya politik kita monarki, itulah, kerajaan. Bentuk republik, kelakuan kita kerajaan," kata Jimly.
"Inggris bentuk formalnya monarki, kelakuannya republik. Belanda sama, kerajaan, kelakuannya republik. Tapi kita terbalik. Oleh karena itu kita penting evaluasi," tutup dia.